sakramen imamat
I. MARTABAT IMAMAT
Gagasan Martabat Imamat
Pentingnya Jabatan Imamat
Keagungan Kuasa Imamat
Martabat Imam Melampaui Segala Martabat Lainnya
Tingginya Jabatan Imamat
Kesimpulan
II. TUJUAN IMAMAT
Imamat Dipandang Para Kudus sebagai Suatu Tugas yang Sungguh Berat
Apakah Tujuan Imamat?
Tugas-tugas Utama Imam
III. KEKUDUSAN YANG DIPERLUKAN SEORANG IMAM
Kekudusan yang Diperlukan Imam karena Alasan Martabatnya
Kekudusan yang Diperlukan Imam sebagai Pelayan Altar
Kekudusan yang Diperlukan Imam sebagai Pengantara Allah dan Manusia
Kekudusan yang Diperlukan Imam sebagai Teladan Umat Beriman
Konsekuensi Praktis
IMAM DIPANGGIL UNTUK MENCINTA
Kitab Imamat 19.2: Panggilan pada kekudusan, yang adalah keintiman dengan Tuhan, cinta tanpa pamrih terhadap gereja dan jiwa-jiwa. Panggilan imamat `adalah panggilan terhadap kekudusan, sebagaimana ia mengalir dari sakramen imamat' [YP II, Pastores dabo vobis, 33]. Imam diangkat Tuhan untuk menjumpai, mengenal dan mencintai Kristus dalam pelayanannya dan untuk senantiasa lebih mengidentikkan diri dengan Kristus.
Cinta pastoral imam seperti Yoh.4:35, menunjukkan horizon yang amat luas dari karya misi dari cinta Sang Sabda yang telah menjadi manusia, misi yang menjadi misi kita: Dia menyerahkannya dan mewariskannya kepada seluruh gereja dan atas cara khusus, kepada pelayan-pelayan tertahbis. Imam adalah pelayan rahasia cinta Tuhan!
Kisah para rasul mengingatkan kita bahwa Yesus yang sama, sekarang ini terus berada dalam GerejaNya, menarik semua orang beriman ke takhta rakhmat dan kemuliaan yang adalah Salib penebusanNya [bdk. Kol. 1.20], membangun sebuah persekutuan umat, dari segenap zaman, dalam satu tubuh saja, juga Ia senantiasa tetap berada sebagai Kepala dan Gembala, yang mengajar, menguduskan dan menggembalakan. Kehadiran Yesus ini direalisir melalui imamat kamu. Setiap imam dipilih, dikuduskan dan diundang untuk tetap menghadirkan Sang Kristus, menjadi wakil dan bentaraNya yang otentik.
Imam adalah pembawa Hidup Kristus: Christo-foroi, adalah bagaikan air yang mengalir di tanah berbatu karang dan kering kerontang, yang membuatnya subur. `Kita tidak bisa membiarkan dunia menjadi tanah kering,' tulis Bapa Suci.
2. DENGAN HATI KRISTUS
Dibutuhkan hidup imam yang bukan biasa saja, tetapi sebuah hati yang jatuh cinta, seperti hati Kristus: yang tertembus oleh tombak, yang memberi diri yang total, yang menjadi sumber yang tak kunjung habis dari damai yang sejati: yang `mencintai kita sampai sehabis-habisnya' [Yoh. 13.1] .
Keagungan Hati Kudus mengundang imam pada kegembiraan cinta dan pemberian diri kepada yang lain: `Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib…' [Mazmur 98.1]. Karya-karya ajaib itu adalah kehidupan para imam, `Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa' [Yer. 1.5]. Juga perjalanan persiapan menjadi imam adalah sebuah anugerah: `Dan tidak seorangpun yang mengambil kehormatan itu bagi dirinya sendiri, tetapi dipanggil untuk itu oleh Allah, seperti yang telah terjadi dengan Harun…', [Ibr. 5.4].
Pelayanan imamat, kata Paus Paulus VI `adalah sebuah pelayanan yang sungguh-sungguh khusus dan dengan sebuah meterai yang tak terhapuskan karena kekuatan imamat Kristus, syukur atas sakramen imamat'. Lewat pelayan imam, orang menemukan wajah dari Kristus; imam adalah sang pribadi yang `telah diciptakan demi orang banyak dalam perannya yang berhubungan dengan Tuhan' [Ibr. 5.1].
3. MELALUI EKARISTI: KEKUATAN DAN PENGHARAPAN KITA
Kristus berinisiatif berjalan di atas air, datang menolong para rasul di danau Tiberias [Mat. 14.22-32]. Ia mengajak `jangan takut, inilah Aku', [Mat 14.27]. Imam jangan membiarkan diri dikecutkan oleh kesulitan; percayalah akan Dia. Panggilan imamat, ditanam dengan efektif oleh Kristus dalam para imam dan oleh kamu diterima dengan kerendahan hati yang melimpah, bagaikan tanah subur yang pasti akan memberikan buah-buah yang melimpah.
Seperti Petrus, imam perlu keluar menyongsong Kristus, memandang wajah penuh belas kasihanNya: lewat doa-doa dan dalam praktek sakramen pengampunan, agar dapat mengatasi beratnya kelemahan, keterbatasan dan dosa-dosa. S. Yohanes Krisostomus, mengingatkan: `Bilamana kurang kerjasama dari pihak kita, Tuhan pun tak dapat datang menolong kita' [Komentar Injil Mateus, n. 50].
Melalui ekaristi imam menemukan kebenaran dan efektifitas dari kata-kata dan perbuatan Kristus sendiri: `Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?' [Mat. 14.31]. Tangan Tuhan menopang imam; kesombongan dan iblis, akan kehilangan kekuatannya. Dari Ekaristilah imam menimba kekuatan cinta Kristus. Bapa Suci menulis 'setiap upaya kekudusan, setiap tindakan misi gereja, setiap aktualisasi dari rencana-rencana pastoral harus mendapatkan kekuatannya dari misteri ekaristi dan dalam ekaristi jugalah harus menjadi puncaknya.'
Para imam diosesan, para misionaris dan religius, temukanlah kembali, terutama dalam ekaristi, keindahan dari panggilan imamat kamu. Setiap orang hendaknya menjadi pendidik dari panggilannya dan tanpa takut mengusulkan pilihan radikal untuk menuju kekudusan.
Kata imam kudus dari Ars: `imam adalah cinta dari hati Yesus, adalah sesuatu yang amat agung, sehingga jika ia sendiri memahaminya, ia tidak akan mati.'
Banyak kegiatan, rencana pastoral dan apostolat yang tidak cukup didasarkan pada Sabda Allah dan pada Ekaristi. `Dalam tanda sederhana dari roti dan anggur, yang dirubah menjadi tubuh dan darahNya, Kristus berjalan bersama kita, sebagai kekuatan dan bekal perjalanan, dan menjadikan kita saksi-saksi pengharapan [E de Euch. n . 62].
Hidupkanlah kembali di tengah umat kristiani pengharapan yang ada pada perjamuan malam akhir / dari ekaristi: pelayanan Sang Guru, kesiapsediaan akan pengurbanan salib, pemberian diri sepenuhnya, juga 'sehati sejiwa dalam doa bersama Maria, Ibu Yesus' [Kis. 1.14].
Semoga Sang Tak Bercela, sang Wanita Ekaristi senantiasa menopang para imam mengikuti jejak Puteranya sepenuh mungkin, menjadi Kristus sendiri, Kristus yang lain, untuk tetap menjadi bentara Injil, menjadi yang akhli dalam kemanusiaan, pengenal hati umat manusia, pengambil bagian dalam kegembiraan dan harapan, kegelisahan dan kesedihan, dan serentak menjadi kontemplatif dan pecinta Tuhan.
Kepada perlindungan Maria, Ratu para rasul dan Ibu para imam, kita memohon agar ia menemani perjalanan pelayanan mereka, seperti ia menemani para rasul dan murid di senakel. Semoga doa Bintang Evangelisasi memberikan rahmat kesetiaan pada panggilan imamat. Semoga Sang Terkandung tanpa cela hadir di tengah komunitas gerejani yang menjadi sebuah tanda yang nampak `bagaikan kota yang ditempatkan di atas gunung' dan bagaikan `lampu yang di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang…' [Mat. 5:14-15].
Yesus Kristus menetapkan imamat pada Perjamuan Malam Terakhir, ketika Ia mengatakan kepada para rasul, “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.” Yang Ia maksudkan, tentu saja, adalah apa yang baru saja Ia Sendiri lakukan, mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya Sendiri yang hidup.
Tuhan menjadi manusia agar Ia dapat wafat bagi kita di atas Salib. Tetapi Ia juga menjadi manusia agar dapat tinggal di tengah kita dalam Ekaristi Kudus sebagai Kurban, Komuni dan Kehadiran Nyata.
Namun demikian, tidak akan ada Ekaristi tanpa Santa Perawan Maria. Allah, sebagai Allah, telah ada dalam dunia saat Ia menciptakan dunia. Ia pastilah sudah ada, jika tidak, maka dunia tidak akan ada.
Apakah yang terjadi dalam peristiwa Kabar Sukacita saat Perawan Maria mengatakan kepada malaikat, “Terjadilah padaku menurut perkataanmu”? Pada saat itulah Tuhan menjadi ada dalam dunia sebagai Allah-Manusia. Andai tidak ada Maria, tidak akan ada Inkarnasi. Andai tidak ada Maria, tidak akan ada Ekaristi Kudus.
Begitu hal ini dipahami, imamat kita mendapatkan maknanya yang sebenarnya. Andai tidak ada kita, para imam, menyusuri kembali tahbisan kita ke Perjamuan Malam Terakhir, maka tidak akan ada Sakramen Ekaristi.
Sebab itu, beranilah kita menarik kesimpulan berikut: Kita, para imam, amat penting bagi kehadiran di dunia Yesus Kristus, Putra Allah, yang menjadi Putra Santa Perawan Maria. Tanpa para imam, Kurban Kalvari tidak akan diperbaharui dalam Kurban Misa; tanpa imam, umat beriman tidak akan menerima Yesus dalam Komuni Kudus; tanpa imam, Kristus yang hidup tidak akan berada di dunia sekarang sehingga kita dapat bersembah sujud dan memohon samudera rahmat yang kita butuhkan.
Semuanya ini menghantar kita pada satu kesimpulan penting: tanpa Bunda Maria, tidak akan ada imamat Katolik di dunia. Mengapa? Sebab tanpa Bunda Maria tidak akan ada Ekaristi.
Jadi, bagaimanakah seharusnya kita menanggapi hal ini? Kita menanggapinya dengan tiga cara, yaitu: devosi yang terlebih mendalam kepada Bunda Maria sebagai Bunda Imamat kita; iman yang terlebih mendalam akan kuasa-kuasa imamat kita; dan kasih yang terlebih mendalam akan Yesus Kristus, Putra Maria, yang ada di tengah-tengah kita dalam Ekaristi Kudus.
Bagaimanakah kita bertumbuh dalam devosi kepada Bunda Maria? Dengan berbicara kepadanya sesering mungkin. Bagaimanakah kita bertumbuh dalam iman akan kuasa-kuasa imamat kita? Dengan menumbuh-kembangkan iman akan Ekaristi Kudus di antara mereka yang kita layani. Tidak ada yang lebih dibutuhkan Gereja Katolik sekarang ini daripada pemahaman yang lebih teguh, lebih jelas dan lebih hidup akan Ekaristi Kudus. Bagaimanakah kita bertumbuh dalam kasih yang terlebih mendalam kepada Yesus Kristus dalam Sakramen Mahakudus? Dengan memanfaatkan setiap kesempatan untuk berada di hadirat kehadiran Ekaristis-Nya sepanjang hari dan, perlu saya tambahkan, hingga malam hari.
ika saya boleh mengemukakan sedikit pendapat dari sudut pandang saya sebagai seorang imam (ini tidak mewakili pandangan semua imam), maka bagi saya:
Pastor yang baik adalah pastor yang berani menerima dirinya apa adanya. Beberapa teman seimamat (saya sebut confrater) menjadi aneh dalam pandangan kami, sebab tidak berani menerima keluarganya. Maklum, tidak jarang confrater berasal dari keluarga miskin. Ketika menjadi pastor dia mengalami lonjakan status sosial dengan aneka bentuk hal yang mengikutinya: punya mobil (meski milik paroki), didengarkan orang jika berbicara (orang miskin sering kali terbungkam), punya kekuasaan (orang miskin tidak mempunyai kuasa kecuali atas dirinya sendiri, inipun masih sering tidak dimiliki), dan sebagainya. Nah, semuanya itu sekarang dia peroleh, sehingga dia lupa akan akar hidupnya. Akibatnya, akan kelihatan "aneh".
Pastor yang baik adalah pastor yang menjadi dirinya sendiri. Semua gelar, status, kepemilikan itu bukan miliknya; dirinya tetap seperti dulu ketika belum jadi pastor. Akan repot jadinya, kalau pastor ingin menjadi seseorang seperti yang diinginkan orang. Akibatnya dia menggunakan topeng. Padahal ini capek kan? Nah, ketika dia tidak tahan lagi memakai topeng, dia bisa meledak. Makanya saya berusaha menjadi diri saya sendiri. Kalau umat tidak setuju dengan diri saya, ya udah.. itu hak umat, sebab saya juga harus berani menerima umat apa adanya. Jadi, harus ada timbal balik dong... Karenanya, saya tidak membedakan bergaul dengan anak-anak sampai orang tua. Saya tidak berusaha menjadi pastor ideal, sebab itu akan membuat saya aneh saja.
Pastor yang baik adalah pastor yang dapat menjadi saluran rahmat Allah. Karenanya, umat diminta mendoakan. Bukan agar dia kudus, melainkan agar saluran itu tidak bocor atau tersumbat, sehingga rahmat Allah tetap lancar. Bayangkan saja seperti talang (saluran air hujan) di rumah. Kalau talang penuh dengan sampah atau bocor, kan airnya akan habis ketika sampai di ujung. Nah, siapa yang merawat talang air itu? Ya umat dan diri pastor itu sendiri. Repotnya, umat sering tidak mampu. Jujur saja, banyak confrater dikelilingi oleh orang kaya dan cantik, sebab orang miskin dan jelek tidak berani datang ke pastor kecuali minta bantuan. Nah, kemana orang kaya membawa para pastornya? Ke rumah makan, taman rekreasi, luar negeri (katanya ziarah, tapi 90% hanya keliling Eropa). Bagaimana kebersihan talang bisa terjamin kalau diisi dengan aneka hal macam itu? Jarang sekali umat mengajak pastor doa, retret, menyepi dll, kecuali umat meminta pastor untuk memberi retret, memimpin doa lingkungan, dll. Ini kan sama saja umat menimba air dari sumur pastor. Nah, kalau sumur itu terus ditimba, apakah akhirnya tidak akan kering? Umat memang mengandaikan bahwa pastor punya jadwal doa, tapi apakah sungguh dilaksanakan? Banyak confrater tidak berdoa lagi.
Pastor yang baik adalah pastor yang punya visi pengabdian pada orang lain, artinya orang yang melakukan karya kerasulan yang nyata. Meski sering pulang malam, bahkan dini hari, saya tidak pernah diprotes umat, sebab mereka tahu kemana saya pergi, yaitu ke tempat yang mereka hindari. Mereka bisa melihat aktifitas saya. Maka, meski saya goncengan dengan gadis pun mereka tidak protes, sebab mereka melihat apa yang saya kerjakan, mereka melihat teman-teman saya yang kumuh dan jorok, teman-teman preman dan aktifis. Coba kalau yang saya goncengkan nonik-nonik manis terus menerus, pasti sebentar saja akan terjadi isu heboh. Ini sudah kejadian disini. Saya sering goncengan dengan seorang gadis ke tempat aktifitas selama bertahun-tahun tidak ada isu, eh ada confrater suka belanja ke makro dengan seorang ibu, padahal naik mobil, isu berkembang pesat sampai ada penyidangan dari Depar segala. Nah, perbedaannya adalah saya pergi untuk kerasulan sedang yang lain pergi untuk makan dan belanja.
Pastor yang baik adalah pastor yang bisa "mancalo putra mancalo putri" artinya bisa beradaptasi dengan siapa saja dia bergaul: bisa dengan orang kaya maupun miskin, dengan laki maupun perempuan, tua maupun muda.
. Siapa itu imam Katolik?
Seorang imam Katolik adalah seorang laki-laki yang dipanggil Tuhan untuk melayani Gereja dalam pribadi Kristus sang Kepala. Ia adalah seorang yang mengasihi Tuhan, Gereja dan Umat yang ia layani. Ia mengamalkan kasihnya ini melalui ikrar setia selibat, ketaatan dan kesahajaan hidup. Ia adalah seorang yang berakar dalam doa, yang dengan sukacita dan semangat rela berkorban memberikan hidupnya bagi sesama.
2. Siapa itu imam diosesan?
Seorang Imam Diosesan adalah seorang Imam Paroki. “Diosesan” berasal dari kata Yunani yang berarti “menata rumah,” dan kata Yunani “paroki” yang berarti “tinggal dekat.” Seorang imam diosesan adalah seorang imam yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari umat. Ia “tinggal dekat mereka” dalam segala hal, dan membantu uskup setempat untuk “menata rumah” dalam keluarga Allah, entah sebagai seorang pastor pembantu atau sebagai pastor kepala paroki (dan kadang kala dalam pelayanan-pelayanan seperti pengajaran, atau melayani sebagai pastor mahasiswa, atau pastor di rumah sakit, di pangkalan militer, atau di penjara). Seorang pastor paroki bertanggung jawab atas segala pelayanan yang diselenggarakan oleh paroki dan atas administrasi paroki.
Sebagian besar imam di seluruh dunia adalah imam diosesan. Mereka ini ditahbiskan untuk berkarya di suatu diosis (= keuskupan) atau di suatu arki-diosis (= keuskupan agung) tertentu. Seorang imam diosesan merupakan bagian dari satu presbiterium (= dewan imam), yang beranggotakan para imam dari suatu diosis/arki-diosis yang sama, dan karenanya berada di bawah kepemimpinan uskup yang sama.
Pada saat ditahbiskan sebagai diakon (biasanya sekitar satu tahun sebelum ditahbiskan sebagai imam) mereka berikrar setia untuk menghormati dan mentaati uskup diosesan dan para penerusnya. Mereka juga berikrar setia untuk hidup dalam kemurnian, dan sesuai dengan status klerus mereka (termasuk di dalamnya hidup bersahaja). Berbicara secara teknis, para imam diosesan tidak mengucapkan kaul dan tidak berikrar kemiskinan. Mereka menerima gaji sekedarnya dari paroki atau lembaga Katolik lainnya yang mereka layani. Oleh karena tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan dasar telah dipenuhi oleh paroki di mana mereka berkarya, maka gaji mereka yang sedikit itu lebih dari cukup untuk memenuhi keperluan-keperluan pribadi mereka, misalnya pakaian, biaya berlibur, mobil dan sumbangan amal kasih.
Dalam tahbisan diakonat, uskup menerima ikrar setia para diakon dan para imam, dan dengan demikian menginkardinasi mereka ke dalam keuskupan. Ini mendatangkan hak-hak tertentu bagi diakon calon imam dan imam diosesan - misalnya hak untuk mendapatkan dukungan dari gereja diosesan - dan mengenakan kepada mereka kewajiban untuk berkarya bagi gereja diosesan di bawah kepemimpinan uskup. Ini merupakan komitmen atas tanggung jawab seumur hidup. Karena sebagian besar karya keuskupan dilaksanakan di paroki-paroki, maka pada umumnya seorang imam diosesan berkarya di suatu paroki. Imam diosesan sering juga disebut imam praja atau imam sekulir, sebab karya utama mereka adalah pastoral, yaitu membantu umat yang berada dalam dunia pada masa sekarang ini (Latin saeculum, artinya dunia, masa).
3. Apa beda imam religius dan imam diosesan?
Seorang imam religius adalah anggota dari suatu ordo atau lembaga religius. Suatu ordo atau lembaga religius adalah suatu serikat yang dibentuk Gereja guna mempromosikan suatu gaya hidup atau suatu spiritualitas tertentu, atau untuk melaksanakan suatu karya tertentu. Sebagian besar anggota komunitas religius berkarya di lebih dari satu keuskupan, dan banyak lainnya berkarya lintas negara. Setiap komunitas religius memiliki konstitusinya sendiri, dan para anggotanya hidup menurut suatu peraturan hidup yang ditetapkan. Sebagian anggota komunitas religius berkarya di paroki-paroki, sedangkan yang lainnya tidak. Para imam religius berkarya sebagai pastor rumah sakit, memberikan retret, mengajar, pembicara, pastor paroki, misionaris dan di berbagai macam bidang lainnya. Setiap komunitas religius memiliki karisma, atau karunia Roh Kudus. Para imam yang adalah anggota suatu komunitas religius membawa karisma itu ke dalam karya mereka.
Uskup diosesan mengawasi para imam religius apabila para imam ini terlibat dalam pelayanan aktif dalam keuskupannya. Tidak ada suatu komunitas pun yang dapat berkarya di suatu diosis tanpa ijin uskup diosesan. Superior komunitas religius mengawasi karya internal komunitas. Jika suatu komunitas religius melayani kebutuhan umat di suatu paroki tertentu, maka komunitas religius tersebut berkarya berdasarkan suatu kesepakatan dengan uskup diosesan.
Seorang imam religius mengucapkan kaul kemurnian, kaul ketaatan dan kaul kemiskinan; mereka tidak diperkenankan memiliki harta pribadi. Biasanya, imam religius tinggal bersama sejumlah imam atau broeder dari komunitas religiusnya. Pada umumnya, mereka berkarya dalam suatu pelayanan tertentu, misalnya pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan atau karya misi. Pelayanannya kepada Gereja dapat menjangkau melintasi batas-batas keuskupan: ia dapat saja diutus ke manapun di suatu pelosok dunia di mana komunitasnya berkarya. Sebaliknya, seorang imam diosesan, pada umumnya melayani sebatas wilayah keuskupan di mana ia ditahbiskan. Ia tunduk pada uskup diosesan. Seorang imam diosesan tidak mengucapkan kaul.
4. Mengapa menjadi seorang imam?
Seorang laki-laki menjadi imam bukan bagi dirinya sendiri melainkan bagi orang-orang lain. Imamat merupakan suatu cara hidup yang unik dan penuh kuasa demi menyelenggarakan pelayanan bagi kebutuhan-kebutuhan rohani orang-orang lain. Imam adalah sungguh merupakan kehadiran unik Tuhan Sendiri di dunia ini, yang diperlengkapi kuasa untuk menghadirkan Tuhan. Orang tidak ditahbiskan atau orang tidak menjadi imam bagi dirinya sendiri, tetapi ia ditahbiskan bagi orang-orang lain. Seorang imam memberikan hidupnya sendiri agar yang lain dapat hidup.
5. Apakah seorang imam kehilangan kebebasannya?
Seorang imam diosesan berikrar setia secara resmi untuk taat kepada uskupnya. Ikrar ketaatan ini mengikatkan imam kepada uskupnya dalam suatu cara demi menjamin bahwa kebutuhan-kebutuhan umat Allah terpenuhi. Kebebasan dalam kehidupan dan pelayanan imam adalah bagaikan kebebasan anak-anak dalam kehidupan orangtua mereka. Orangtua bertanggung jawab atas anak-anak mereka. Demikian pula, dalam mengambil keputusan seorang imam pertama-tama memikirkan kepentingan yang lain terlebih dahulu, yaitu umat yang dipercayakan kepadanya, dan uskupnya yang bertanggung jawab atas seluruh keuskupan
6. Apa yang dilakukan seorang imam?
Tujuan dasar dari pelayanan seorang imam adalah mewartakan Sabda Allah. Imam melakukannya dengan beragam cara. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya demi mempersiapkan dan merayakan sakramen-sakramen (Ekaristi, Tobat, Baptis, Perkawinan, Pengurapan Orang Sakit). Setiap hari selalu diluangkannya waktu untuk berdoa. Mengunjungi yang sakit, mengunjungi umat dan bekerjasama dengan paroki-paroki lain dan dengan berbagai kelompok organisasi merupakan bagian dari pelayanannya pula. Seorang imam diosesan harus siap sedia melayani umat apabila mereka membutuhkan bantuan. Ia kerap kali terlibat dalam konseling pribadi, (masalah perkawinan, obat-obatan terlarang, masalah orangtua/guru, atau sekedar berbagai masalah pada umumnya). Imam memilih untuk tinggal di tengah suatu komunitas iman tertentu (suatu paroki), dan dengan demikian ia bertindak sebagai pemimpin yang memberikan perhatian sosial dan spiritual bagi umatnya. Sama seperti orang lain pada umumnya, seorang imam juga membutuhkan waktu untuk berolah raga, beristirahat dan relaks - waktu di mana ia dapat melakukan apa yang ia sukai; hal-hal seperti sports, hobi, musik, dll.
7. Bagaimanakah hari-hari seorang imam?
Seorang imam bekerja dan berkarya setiap hari demi membangun jembatan antara langit dan bumi. Imam membawa Tuhan kepada manusia dan manusia kepada Tuhan. Setiap hari berbeda baginya, tergantung pada karya di mana ia terlibat. Namun demikian, satu hal yang pasti bagi setiap imam adalah merayakan Misa. Setiap imam sebisanya merayakan Ekaristi setiap hari. Dengan menghadirkan Yesus dalam Ekaristi, imam dipanggil untuk menghadirkan Yesus pula dalam setiap detik hidupnya. Hal ini mungkin terjadi pada saat pertemuan, kunjungan ke rumah atau rumah sakit, mengajar, menyampaikan khotbah ataupun sekedar hadir bersama yang lain. Sungguh, hari-hari seorang imam adalah hari-hari yang sibuk, melelahkan, beragam variasi, namun mendatangkan keselamatan, yang menuntut stamina fisik, disiplin mental dan kedewasaan rohani. Hidup seorang imam adalah hidup bagi orang lain; hidup bagi pelayanan kasih. Jadi, meski kesibukan dalam hari-harinya tak dapat diprediksi, tetapi wajib senantiasa merupakan pelayanan kasih, pertama-tama bagi Tuhan, dan kemudian bagi sesama.
8. Apakah seorang imam diosesan mendapatkan suatu pelatihan khusus?
Seorang imam diosesan pertama-tama dipersiapkan untuk menjadi seorang imam paroki. Ia mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk melakukan segala hal yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari Gereja. Ia dapat juga menerima pelatihan khusus dalam bidang seperti konseling, pengajaran, pelayanan kaum muda, komunikasi, bekerja untuk orang-orang miskin, dan bidang-bidang lain yang dianggap perlu oleh Gereja.
9. Dapatkah seorang imam diosesan melayani di luar keuskupannya?
Terkadang, seorang imam diosesan dapat meminta ijin kepada uskup untuk melayani di luar keuskupannya. Seorang imam diosesan dapat melayani sebagai guru, misionaris, atau dalam kapasitas lainnya di suatu keuskupan lain.
10. Siapakah yang memiliki kualifikasi menjadi seorang imam?
Seorang laki-laki single dengan intelegensi sekurangnya rata-rata, emosional yang stabil, memiliki kemurahan hati dan kasih yang tulus bagi Tuhan pantas bagi imamat. Ia hendaknya seorang yang menikmati bekerja dengan beragam orang dan memiliki komitmen untuk menjadikan dunia suatu tempat yang lebih baik bagi umat manusia melalui pelayanan imamat. Ia hendaknya seorang individu yang penuh sukacita yang mencintai hidup dan bersedia memberikan segala-galanya bagi apapun yang Tuhan kehendaki darinya. Ia wajib mengejar kekudusan, setia pada ajaran-ajaran Gereja Katolik dan setia kepada Bapa Suci.
11. Bagaimana saya tahu Tuhan memanggil saya menjadi seorang imam?
Satu-satunya cara adalah meluangkan waktu dalam doa dan dalam diskusi dengan yang lain. Hubungi pastor paroki, Komisi Panggilan, atau seorang awam yang engkau percaya di paroki untuk membicarakan perasaan-perasaan dan imanmu. Sering kita mendengar suara Tuhan lewat sharing iman dengan yang lain.
12. Bagaimana jika saya pernah berbuat salah sebelumnya?
Seorang tidak perlu kudus untuk menjadi seorang imam, meski imam wajib merindukan kekudusan. Kemampuan untuk mencari pengampunan Tuhan dan untuk menerima kerahiman ilahi menunjukkan pertumbuhan dalam kekudusan. Seorang pembimbing rohani acapkali merupakan seorang penolong yang tepat bagi mereka yang hendak mengenali kesiapan dirinya bagi hidup dan pelayanan imamat.
13. Apakah saya harus meninggalkan keluarga, teman dan sahabat demi memenuhi panggilan imamat atau hidup religius?
Tidak. Sesungguhnya, keluarga, teman dan sahabat merupakan pendukung yang sangat penting bagi panggilan baik imam, biarawan maupun biarawati. Mereka didorong untuk ambil bagian dalam kejadian dan peristiwa-peristiwa keluarga dan menemukan cara demi mendukung para anggota keluarga melalui doa dan peran mereka. Hendaknya tuntutan Umat Allah atau komunitas religius mendapatkan prioritas dalam hidupmu. Dalam hal ini, engkau “meninggalkan” keluarga, teman dan sahabat. Tetapi, ingatlah akan janji Yesus dalam Injil Matius, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19:29).
14. Bagaimana jika saya merasa tidak layak menjadi seorang imam?
Kamu tidak sendiri! Tak seorang pun yang sesungguhnya “layak”. Bukan dari diri kita sendiri, melainkan Yesus bersabda, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16). Dengan panggilan, datanglah rahmat untuk menanggapi panggilan dengan murah hati dan segenap hati dan untuk masuk ke dalam suatu perubahan sepanjang hidup menjadi serupa dengan Yesus Kristus.
Tuhan Yesus adalah seorang imam (Ibrani 4:14: “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah”). Ia hidup selibat dan memanggil kita untuk melakukan hal yang sama. Petrus berkata: "Kami ini telah meninggalkan segala kepunyaan kami dan mengikut Engkau." Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya, orangtuanya atau anak-anaknya, akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” (Luk 18:28-30).
Abraham diminta untuk mengorbankan anaknya, Ishak (Kej 22). Melalui hidup selibat, seorang imam diminta untuk mengorbankan bukan hanya anaknya, tetapi juga isterinya. Yesus mengajarkan bahwa tidak semua orang dapat hidup selibat, tetapi mereka yang dipanggil baiklah ia melakukannya demi Kerajaan Allah: Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja - ada orang yang membuat dirinya demikian (selibat) karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” (Mat 19:10-12).
Selibat adalah tanda kebangkitan; kita semua akan hidup selibat di kehidupan yang akan datang. Yesus mengatakan: “Pada waktu kebangkitan, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.” (Mat 22:30). Sesuai dengan teladan Kristus, para imam dipanggil untuk hidup selibat di kehidupan sekarang ini dan di kehidupan yang akan datang. Elia dan Yohanes Pembaptis, dua orang nabi besar, juga hidup selibat. St. Paulus bahkan menganjurkan hidup selibat di antara kaum awam. Ia menulis: “Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin, tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Adakah engkau terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mengusahakan perceraian! Adakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mencari seorang! Tetapi, kalau engkau kawin, engkau tidak berdosa. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” (1Kor 7).
Selibat bukanlah sesuatu yang tidak wajar, melainkan sesuatu yang adikodrati. Selibat adalah karunia khusus dari Tuhan. Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia. Sebagai manusia, Ia hidup sepenuhnya sebagai seorang manusia, dengan memilih hidup selibat. Selibat adalah mengorbankan keindahan hidup perkawinan demi Kerajaan Allah. Selibat bukan untuk orang yang tidak tertarik kepada lawan jenisnya. Tetapi, untuk mereka yang memang tertarik oleh lawan jenisnya. Jika mereka memang tidak tertarik, tidak akan ada pengorbanan untuk tidak menikmati hidup perkawinan. Selibat tidak menarik bagi dunia sekarang ini, karena selibat merupakan pengorbanan, dan pengorbanan bagi Tuhan bukanlah sesuatu yang disukai orang pada masa ini. Namun demikian, pendapat dunia tidaklah meresahkan Tuhan Yesus yang mengatakan: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.” (Yoh 18:36)
alam membahas masalah selibat, pertama-tama baiklah kita melihat perkembangan sejarah selibat dalam kehidupan Gereja, baru kemudian dasar spiritual dan relevansinya bagi para klerus sekarang ini.
Tuhan kita menawarkan selibat sebagai cara hidup yang sah, bukan hanya dengan cara hidup-Nya Sendiri, sebab Ia tidak pernah menikah, melainkan juga dalam ajaran-Nya. Ketika Tuhan kita menekankan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan perjanjian antara suami dan isteri, dan karenanya tidak diperbolehkan untuk bercerai dan menikah lagi (bdk Mt 19:3-12), Ia mengakhirinya dengan, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Tradisi Gereja - seperti dinyatakan dalam Katekismus Gereja Katolik No. 1579 - menunjuk “demi Kerajaan Sorga” ini sebagai dasar selibat.
Namun demikian, di masa Gereja perdana, hidup selibat bagi para klerus tidaklah dimandatkan. St Paulus dalam surat pertamanya kepada St Timotius menulis, “Penilik jemaat [Uskup] haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan” (3:2) dan “Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik” (3:12). Meski begitu, orang hendaknya tidak secara salah menafsirkan ajaran ini dengan mengartikan bahwa seorang uskup, imam atau diakon haruslah menikah; St Paulus mengakui bahwa ia sendiri tidak menikah (1 Kor 7:7).
Klemens dari Alexandria (wafat thn 215) menggemakan kembali ajaran St Paulus, “Gereja dengan sepenuhnya menerima suami dari satu isteri entah sebagai imam atau diakon atau awam, dengan senantiasa beranggapan bahwa ia tak bercacat dalam perkawinannya, dan yang dengan demikian akan diselamatkan dalam memperanakkan keturunan.”
Namun demikian, gerakan ke arah selibat para klerus mulai berkembang di lingkungan Gereja. St Epiphanius dari Salamis (wafat thn 403) mengatakan, “Gereja yang Kudus menghormati martabat imamat hingga ke tahap Gereja tidak menerimakan diakonat, presbiterat ataupun episkopat, bahkan subdiakonat, kepada siapapun yang masih hidup dalam ikatan perkawinan dan memperanakkan keturunan. Gereja hanya menerima dia, yang jika telah menikah meninggalkan isterinya atau telah kehilangan isterinya karena meninggal dunia, teristimewa di tempat-tempat di mana kanon gerejani diterapkan secara ketat.” Konsili Elvira (306), yaitu konsili lokal Spanyol, menerapkan selibat pada para uskup, para imam dan para diakon, “Kami mendekritkan bahwa segenap uskup, imam, diakon dan semua klerus yang terlibat dalam pelayanan sama sekali dilarang hidup bersama isteri mereka dan memperanakkan keturunan: siapapun yang melanggar akan dikeluarkan dari martabat klerus.” Di kemudian hari, Konsili Karthago memperluas prasyarat selibat hingga ke tingkat subdiakonat.
Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313, berkembanglah pembahasan yang lebih mendalam mengenai selibat para klerus. Dalam Konsili ekumenis Nicea I (325), Uskup Hosius dari Cordova mengusulkan suatu dekrit yang memandatkan selibat para klerus, termasuk para klerus yang telah menikah. Uskup Mesir Paphnutius, ia sendiri tidak menikah, mengajukan protes, menegaskan bahwa prasyarat yang demikian akan terlalu keras dan tidak bijaksana. Sebaiknya, para klerus yang telah menikah hendaknya terus setia kepada isteri mereka, sementara yang belum menikah hendaknya memutuskan secara pribadi apakah ia hendak hidup selibat atau tidak. Jadi, tidak ada prasyarat yang dimandatkan Gereja bagi para imam untuk selibat.
Namun demikian, pada waktu itu, muncul semangat spiritual baru “kemartiran putih”. Semasa penganiayaan, banyak yang menderita “kemartiran merah,” mencurahkan darah demi iman. Dengan kemartiran putih, para laki-laki dan perempuan memilih untuk dengan sukarela mengingkari hal-hal dari dunia ini dan mati bagi diri mereka yang lama, agar dapat bangkit kembali untuk hidup dalam suatu kehidupan yang sepenuhnya dibaktikan kepada Kristus. Gagasan kemartiran putih ini mendorong lahirnya monastisisme dan kaul-kaul kemiskinan, kemurnian (termasuk selibat), dan ketaatan.
Pada point ini, tradisi selibat para klerus berbeda antara tradisi Gereja Barat dan Gereja Timur. Dalam Gereja Barat, beberapa paus mendekritkan selibat: Damasus I (384), Siricius (385), Innosensius I (404), dan Leo I (458). Konsili-konsili lokal menerbitkan maklumat selibat bagi para klerus: di Afrika, Karthago (390, 401-19); di Perancis, Orange (441) dan Tours (461); dan di Italia, Turin (398). Pada masa Paus Leo I (wafat thn 461), tidak ada uskup, imam, diakon ataupun subdiakon yang diperkenankan menikah. Namun demikian, ketentuan-ketentuan tersebut tidak selalu dilaksanakan seperti yang seharusnya.
Dalam Gereja Timur, terdapat perbedaan antara uskup dan para klerus lainnya mengenai apakah mereka harus selibat. Kitab Hukum Sipil Kaisar Justinian melarang siapapun yang mempunyai anak atau bahkan keponakan untuk ditahbiskan sebagai seorang uskup. Konsili Trullo (692) memandatkan bahwa seorang uskup harus selibat, dan jika ia telah menikah, ia harus berpisah dari isterinya sebelum ditahbiskan sebagai uskup. Para imam, diakon dan subdiakon dilarang menikah setelah pentahbisan, meski mereka hendaknya terus memenuhi janji perkawinan mereka andai telah menikah sebelum pentahbisan. Ketentuan-ketentuan ini hingga kini masih berlaku bagi sebagian besar Gereja-gereja Timur.
Yang menyedihkan, pada Abad Pertengahan, muncul kasus-kasus penyelewengan dalam selibat para klerus, yang menimbulkan reaksi keras dari Gereja. Sinode Augsburg (952), dan konsili-konsili lokal: Anse (994) dan Poitiers (1000) semuanya mengukuhkan peraturan selibat. Paus Gregorius VII pada tahun 1975 melarang para imam yang menikah atau yang memiliki selir mempersembahkan Misa atau melakukan pelayanan-pelayanan gerejani lainnya, dan melarang kaum awam ikut ambil bagian dalam Misa atau dalam pelayanan-pelayanan liturgis lainnya yang dilayani oleh para imam yang demikian. Akhirnya, Konsili Lateran Pertama (1123), suatu konsili Gereja yang ekumenis, memandatkan selibat bagi para klerus Barat. Konsili Lateran Kedua (1139) kemudian mendekritkan Tahbisan Suci sebagai halangan dari suatu perkawinan, dengan demikian menjadikan segala usaha perkawinan oleh seorang klerus tertahbis menjadi tidak sah. Dan pada akhirnya, peraturan-peraturan mengenai selibat tampaknya menjadi jelas dan konsisten di segenap penjuru Gereja Katolik.
Di kemudian hari, para pemimpin Protestan memperolok dan menyerang disiplin selibat para klerus, sebagian dikarenakan adanya penyelewengan-penyelewengan tercela yang terjadi dalam masa Renaissance. Sebagai tanggapan, Konsili Trente dalam Ajaran dan Kanon mengenai Sakramen Tahbisan (1563) menyatakan bahwa meskipun selibat bukanlah suatu hukum ilahi, namun Gereja memiliki otoritas untuk menetapkan selibat sebagai suatu disiplin. Sembari menjunjung tinggi selibat, Gereja tidak memandang rendah kesakralan hidup perkawinan ataupun cinta kasih suami isteri. Di samping itu, Konsili menegaskan bahwa selibat bukanlah cara hidup yang mustahil, sekaligus mengakui bahwa dalam selibat sungguh dibutuhkan rahmat Tuhan.
Gereja Katolik terus-menerus meneguhkan disiplin selibat para klerus, yang paling akhir adalah dalam dekrit Konsili Vatikan Kedua “Presbyterorum ordinis” (1965), ensiklik Paus Paulus VI “Sacerdotalis Caelibatus” (1967), dan dalam Kitab Hukum Kanonik (1983).
Setelah menelusuri perkembangan historis mengenai bagaimana selibat ditetapkan bagi para klerus dalam Gereja Katolik Roma (terkecuali di beberapa Gereja-gereja Ritus Timur), sekarang kita akan membahas spiritualitas yang mendasari peraturan ini.
Konsili Vatikan Dua dalam Dekrit mengenai Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (Presbyterorum ordinis) (1965) menegaskan, “Pantang sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah dianjurkan oleh Kristus Tuhan, dan di sepanjang masa, juga zaman sekarang ini, oleh banyak orang Kristen telah diterimakan dengan sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh Gereja selalu sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan lambang dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa kesuburan rohani di dunia” (No. 16). Sembari mengakui bahwa selibat tidak dituntut oleh imamat berdasarkan hakekatnya, Konsili menegaskan bahwa selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat: “Dengan menghayati keperawanan atau selibat demi Kerajaan Sorga, para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi Kristus. Mereka lebih mudah berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi, lebih bebas dalam Kristus dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya kelahiran kembali adikodrati, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara lebih luas kebapaan dalam Kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan di hadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus. Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan perkawinan penuh rahasia, yang telah diciptakan oleh Allah dan di masa depan akan ditampilkan sepenuhnya, yakni bahwa Gereja hanya mempunyai Kristus sebagai Mempelai satu-satunya. Kecuali itu mereka menjadi lambang hidup dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui iman dan cinta kasih: di situ putera-puteri kebangkitan tidak akan menikah dan dinikahkan” (Luk 20:35-36).
Paus Paulus VI menggaris-bawahi tema yang sama ini dalam ensiklik Sacerdotalis Caelibatus (1967), yang sesungguhnya ditulis di saat sebagian orang mempertanyakan perlunya mandat selibat. Bapa Suci menunjukkan tiga “makna” atau pentingnya selibat: Kristologis, eklesiologis dan eskatologis. Dalam arti Kristologis, seorang imam wajib memandang Kristus sebagai imam teladan yang abadi. Pengenalan akan Kristus ini merasuki seluruh keberadaannya. Sama seperti Kristus tetap selibat dan membaktikan hidup-Nya demi pelayanan kepada Bapa-Nya dan kepada segenap umat manusia, demikianlah seorang imam menerima selibat dan mengkhususkan diri sepenuhnya untuk melayani perutusan Tuhan. Pemberian diri dan komitmen total kepada Kristus ini merupakan lambang Kerajaan Surga yang sudah hadir sekarang ini.
Dalam arti eklesiologis, sama seperti Kristus dipersatukan sepenuhnya dengan Gereja, demikianlah imam, melalui selibat mengikat hidupnya dengan Gereja. Ia akan dapat lebih cakap dalam menjadi Pelayan Sabda Allah - mendengarkan Sabda, merenungkan kedalamannya, mengamalkannya, dan mewartakannya dengan keyakinan sepenuh hati. Imam adalah Pelayan Sakramen-sakramen, dan, teristimewa melalui Misa, bertindak selaku in persona Christi, mempersembahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Selibat memberikan kepada imam lebih banyak kebebasan dan keleluasaan dalam menunaikan karya pastoralnya, “[Selibat] memberikan kepada imam, bahkan dalam segi praktis, efisiensi yang maksimum dan disposisi batin yang terbaik, psikologis maupun emosional, dalam melaksanakan secara terus-menerus karya karitatif yang sempurna. Karya karitatif ini akan memberinya kesempatan untuk memberikan dirinya sepenuhnya demi kesejahteraan semua orang, dalam cara yang lebih penuh dan lebih konkrit” (Sacerdotalis Caelibatus, No. 32).
Terakhir, dalam arti eskatologis, hidup selibat memberikan gambaran akan kebebasan yang akan dimiliki manusia di surga kelak ketika telah dengan sempurna dipersatukan dengan Tuhan sebagai anak-Nya.
Kitab Hukum Kanonik merefleksikan ketiga “makna” ini dalam Kanon 277, yang memandatkan selibat para klerus, “Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan surga, dan karena itu terikat selibat yang merupakan anugerah istimewa Allah; dengan itu para pelayan rohani dapat lebih mudah bersatu dengan Kristus dengan hati tak terbagi dan membaktikan diri lebih bebas untuk pengabdian kepada Allah dan kepada manusia.”
Sepanjang ajaran Gereja mengenai selibat, tiga dimensi penting perlu dicamkan: Pertama, selibat menyangkut kebebasan. Seorang laki-laki, ketika dipanggil dalam Tahbisan Suci dengan sukarela menerima kewajiban selibat, setelah refleksi dan permenungan dalam doa. Setelah membuat keputusan tersebut, selibat sungguh memberikan kepada uskup, imam atau diakon kebebasan untuk mengidentifikasikan diri dengan Kristus dan melayani Kristus dan Gereja tanpa keberatan, tanpa syarat ataupun keraguan. Pada kenyataannya, imam tidak terbagi antara menunaikan tugas kewajiban bagi paroki dan bagi keluarganya.
Kedua, selibat menyangkut kurban, dan suatu kurban adalah suatu tindakan kasih. Sebagai misal, ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah, mereka berkurban untuk hidup “dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit hingga maut memisahkan.” Mereka berkurkan untuk mengamalkan kasih yang setia, tidak lagi membagi kasih dengan yang lain atau memberi diri untuk kenikmatan-kenikmatan yang egois. Ketika pasangan tersebut menjadi orangtua, mereka berkurban untuk menopang pertumbuhan anak-anak mereka. Keputusan kasih senantiasa membawa serta pula kurban.
Paus Yohanes Paulus II telah berulang kali membela disiplin selibat, menyebutnya sebagai “anugerah Roh Kudus.” Dalam surat Kamis Putih kepada para imam tahun 1979 (No. 8), yang ditulis di awal pontifikatnya, saat sebagian orang berspekulasi bahwa ia mungkin mengubah disiplin ini, Bapa Suci menegaskan, “… Selibat “demi Kerajaan Surga” bukan hanya merupakan suatu lambang eskatologis belaka; melainkan juga memiliki makna sosial yang mendalam, dalam kehidupan sekarang, demi pelayanan Umat Allah. Melalui selibat, imam menjadi `man for others', dengan cara yang berbeda dari laki-laki pada umumnya, yang dengan mengikat diri dalam ikatan perkawinan dengan seorang perempuan, sebagai suami dan ayah, juga menjadi `man for others', teristimewa dalam lingkup keluarganya sendiri: untuk isterinya dan, bersama dengan isterinya, untuk anak-anak mereka, kepada siapa ia memberikan diri. Seorang imam, dengan melepaskan hak kebapakannya yang layak bagi laki-laki yang menikah, mengambil bentuk kebapakan yang lain, dan seolah, sekaligus keibuan, dengan mengingat kata-kata rasul mengenai anak-anak yang diperanakkannya dalam penderitaan.” Guna menekankan panggilan imam dalam melayani Umat Allah, Bapa Suci menambahkan, “Hati seorang imam, agar didapati layak bagi pelayanan ini, haruslah bebas. Selibat adalah tanda kebebasan yang nyata demi pelayanan ini” (No. 8).
Demikianlah dengan para klerus. Menjadi seorang imam berarti mempersembahkan diri sebagai kurban bagi Kristus demi kebaikan Gereja-Nya. Imam berkurban dari menikah dengan seorang perempuan dan memiliki keluarganya sendiri; sebaliknya ia memberikan diri untuk “dikawinkan” dengan Kristus dan Gereja-Nya serta melayani segala kebutuhan mereka sebagai seorang “bapa”.
Yang terakhir, dalam hidup selibat sungguh dibutuhkan rahmat Tuhan. Berulangkali, selibat dipandang sebagai anugerah Roh Kudus. Namun demikian, anugerah ini tidak hanya memampukan orang untuk mengendalikan hasrat jasmaninya atau hidup sebagai seorang jejaka; melainkan anugerah ini juga memampukan orang untuk dapat menjawab “ya” kepada Tuhan setiap hari dan mengamalkan hidup-Nya.
Secara ringkas, Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Amanat kepada para Imam Paroki Roma tanggal 26 Februari 2004 mengatakan, “... Tepatnya dalam selibat, yang disambut dan dipelihara dengan sukacita, kita pada gilirannya dipanggil untuk mengamalkan kebenaran kasih dengan suatu cara yang berbeda walau sama penuhnya, memberikan diri kita secara total bersama Kristus kepada Tuhan, kepada Gereja, dan kepada saudara serta saudari kita dalam kemanusiaan.”
Sayangnya, dalam dunia kita, banyak orang tidak dapat menghargai disiplin selibat, entah bagi kaum klerus maupun yang lain. Kita hidup dalam masyarakat di mana media membombardir kita dengan tayangan-tayangan seksual yang tak terkendali. Jika orang tak dapat menghargai nilai-nilai keperawanan sebelum perkawinan, kesetiaan dalam hidup perkawinan, atau pengurbanan demi anak-anak, maka ia tak dapat mulai menghargai siapapun - entah laki-laki atau perempuan - yang menempuh hidup selibat sebagai bakti diri dalam panggilan.
Di tengah skandal dalam Gereja, di mana beberapa imam telah melanggar kaul selibat dan menyakiti anak-anak, sebagian orang mengusulkan perkawinan bagi kaum klerus guna mengurangi, jika tidak menghapus sama sekali, terjadinya skandal yang demikian. Sesungguhnya, sebagian besar kasus pelecehan yang menyangkut anak-anak (incest, pedophilia, dsb) terjadi dalam rumah di antara kerabat. Seorang yang menderita penyakit yang demikian tidak akan berubah karena ia tak lagi harus hidup selibat. Lagipula, jika Gereja sungguh mengubah prasyarat selibat, maka skandal berikutnya yang akan menjadi sorotan media kemungkinan besar adalah perselingkuhan atau perceraian di antara kaum klerus. Mengubah prasyarat sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
Sebagai warga Gereja, patutlah kita berterima kasih kepada para klerus, pula kepada para biarawan dan biarawati, yang telah mempersembahkan diri secara total karena cintanya demi melayani Tuhan dan Gereja. Sungguh sayang, media jarang menyoroti karya-karya kebajikan yang dilakukan oleh begitu banyak kaum klerus yang penuh dedikasi, maupun oleh para biarawan dan biarawati.
Topi, tali ikat pinggang gembala, dan jumbai bersusun tiga warna hijau adalah lambang jabatan episkopal tradisional Gereja untuk jabatan pelayanan uskup. Yang diisyaratkan oleh jabatan ini adalah pelayanan, bukan kuasa (mahkota, sabuk kehormatan, tanda pangkat, dsb). Untaian tali ikat pinggang gembala dirangkai membentuk huruf M, mengisyaratkan perlindungan Bunda Maria sebagai Bunda Gereja dan teladan iman.
“Perisai” jabatan ini digambarkan dengan penampang depan kapal - lambang Gereja sebagai bahtera - yang berlayar, berziarah, “homo viator” bersama segenap umat manusia menuju pelabuhan akhir kebahagiaan abadi bersama Allah.
Perisai terdiri dari bagian-bagian yang digambarkan dengan:
Tiang Perahu Salib:
sebagai kemudi penentu arah ke mana tujuan bahtera (“Mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang”, 1 Kor 11:26), arah dan esensi hidup Kristiani.
Jangkar dan Tanda Salib:
jangkar lambang alat menambatkan dan berlabuhnya Gereja. Di tengah arus jaman dan badai dunia Gereja menambatkan diri dengan jangkar salib agar tak hanyut, hingga akhirnya berlabuh kelak di pelabuhan hidup abadi.
Piala & Hosti (lambang Ekaristi) dan kapas, padi & daun zaitun (lambang kesejahteraan sosial: sandang, pangan, damai) di kwadran kiri:
kesemuanya melambangkan sarana dan kekuatan hidup di dunia yang diperoleh dari santapan rohani dari Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Kristiani, dan hidup insani sandang pangan yang diperoleh dengan karya dan kebenaran serta damai karena kepekaan pada nasib mereka yang kecil dan menderita.
Tongkat Gembala Kristus dan Tugu Pahlawan di kwadran kanan:
melambangkan kekhasan arek-arek Suroboyo yang berani berkorban, mengabdi dan melayani tanpa pamrih yang perlu diluruskan dan diarahkan oleh Gembala Yang Baik, yang rela mempertaruhkan nyawa bagi domba-Nya.
Pita Warna Biru Laut (lambang arus / gelombang perjuangan hidup) dengan tulisan bahasa Latin, “Ut vitam abundantius habeant” (kutipan lengkap dari Yoh 10:10, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”):
mengisyaratkan arah hidup Kristiani yang beriman kepada Kristus yang memberi hidup ilahi (bukan sembarang dan asal hidup, Yohanes memakai kata “zoe”, bukan “bios” dalam istilah Yunaninya). Iman yang semakin dewasa di tengah arus gelombang hidup, yang menghayati hidup ilahi di dunia, sehingga orang mengalami hidup yang penuh-berkelimpahan.
Keseluruhan lambang ini berada dalam matriks segitiga cembung lambang kasih dan perlindungan Tritunggal Mahakudus: Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Imam/Biarawan/Biarawati mengucapkan 3 kaul:
1. Kaul Ketaatan
2. Kaul Kemiskinan
stilah ”Frater” = kakak/saudara tua = calon Imam / Pastor
Lama belajar antara 7-8 thn:
3. Tahap Postulat: 1 thn
4. Tahap Novis: 1 thn
5. Tahap Filosofan (studi Filsafat): 3 thn
6. Tahap Toper (praktek pastoral di Paroki): 1-2 thn
7. Tahap Teologan (studi Teologi): 2 thn
8. Tahap Diakonat: +/- 6 bulan di Paroki lagi(Diakon sudah termasuk Klerus, artinya bukan awam, karena sudah ditahbiskan sebagai Diakon)
9. Kaul Kemurnian
Syarat menjadi seorang imam
• Semua orang pria/laki-laki yang tidak terikat pernikahan, yang beragama / iman Katolik
• Dewasa dalam kepribadian – iman
• Telah mendapatkan pendidikan cukup di Seminari Tinggi
Tugas seorang imam
• Tugasnya memimpin/menggembalakan Jemaat di Paroki
• melayani Sakramen (7 Sakramen)
• Doa Pribadi
• Ada yang jadi dosen/ketua yayasan
• Bidang social
ada 3 macam Sakramen Tahbisan:
1. Tahbisan Uskup
2. Tahbisan Imam
3. Tahbisan Diakon
Gagasan Martabat Imamat
Pentingnya Jabatan Imamat
Keagungan Kuasa Imamat
Martabat Imam Melampaui Segala Martabat Lainnya
Tingginya Jabatan Imamat
Kesimpulan
II. TUJUAN IMAMAT
Imamat Dipandang Para Kudus sebagai Suatu Tugas yang Sungguh Berat
Apakah Tujuan Imamat?
Tugas-tugas Utama Imam
III. KEKUDUSAN YANG DIPERLUKAN SEORANG IMAM
Kekudusan yang Diperlukan Imam karena Alasan Martabatnya
Kekudusan yang Diperlukan Imam sebagai Pelayan Altar
Kekudusan yang Diperlukan Imam sebagai Pengantara Allah dan Manusia
Kekudusan yang Diperlukan Imam sebagai Teladan Umat Beriman
Konsekuensi Praktis
IMAM DIPANGGIL UNTUK MENCINTA
Kitab Imamat 19.2: Panggilan pada kekudusan, yang adalah keintiman dengan Tuhan, cinta tanpa pamrih terhadap gereja dan jiwa-jiwa. Panggilan imamat `adalah panggilan terhadap kekudusan, sebagaimana ia mengalir dari sakramen imamat' [YP II, Pastores dabo vobis, 33]. Imam diangkat Tuhan untuk menjumpai, mengenal dan mencintai Kristus dalam pelayanannya dan untuk senantiasa lebih mengidentikkan diri dengan Kristus.
Cinta pastoral imam seperti Yoh.4:35, menunjukkan horizon yang amat luas dari karya misi dari cinta Sang Sabda yang telah menjadi manusia, misi yang menjadi misi kita: Dia menyerahkannya dan mewariskannya kepada seluruh gereja dan atas cara khusus, kepada pelayan-pelayan tertahbis. Imam adalah pelayan rahasia cinta Tuhan!
Kisah para rasul mengingatkan kita bahwa Yesus yang sama, sekarang ini terus berada dalam GerejaNya, menarik semua orang beriman ke takhta rakhmat dan kemuliaan yang adalah Salib penebusanNya [bdk. Kol. 1.20], membangun sebuah persekutuan umat, dari segenap zaman, dalam satu tubuh saja, juga Ia senantiasa tetap berada sebagai Kepala dan Gembala, yang mengajar, menguduskan dan menggembalakan. Kehadiran Yesus ini direalisir melalui imamat kamu. Setiap imam dipilih, dikuduskan dan diundang untuk tetap menghadirkan Sang Kristus, menjadi wakil dan bentaraNya yang otentik.
Imam adalah pembawa Hidup Kristus: Christo-foroi, adalah bagaikan air yang mengalir di tanah berbatu karang dan kering kerontang, yang membuatnya subur. `Kita tidak bisa membiarkan dunia menjadi tanah kering,' tulis Bapa Suci.
2. DENGAN HATI KRISTUS
Dibutuhkan hidup imam yang bukan biasa saja, tetapi sebuah hati yang jatuh cinta, seperti hati Kristus: yang tertembus oleh tombak, yang memberi diri yang total, yang menjadi sumber yang tak kunjung habis dari damai yang sejati: yang `mencintai kita sampai sehabis-habisnya' [Yoh. 13.1] .
Keagungan Hati Kudus mengundang imam pada kegembiraan cinta dan pemberian diri kepada yang lain: `Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib…' [Mazmur 98.1]. Karya-karya ajaib itu adalah kehidupan para imam, `Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa' [Yer. 1.5]. Juga perjalanan persiapan menjadi imam adalah sebuah anugerah: `Dan tidak seorangpun yang mengambil kehormatan itu bagi dirinya sendiri, tetapi dipanggil untuk itu oleh Allah, seperti yang telah terjadi dengan Harun…', [Ibr. 5.4].
Pelayanan imamat, kata Paus Paulus VI `adalah sebuah pelayanan yang sungguh-sungguh khusus dan dengan sebuah meterai yang tak terhapuskan karena kekuatan imamat Kristus, syukur atas sakramen imamat'. Lewat pelayan imam, orang menemukan wajah dari Kristus; imam adalah sang pribadi yang `telah diciptakan demi orang banyak dalam perannya yang berhubungan dengan Tuhan' [Ibr. 5.1].
3. MELALUI EKARISTI: KEKUATAN DAN PENGHARAPAN KITA
Kristus berinisiatif berjalan di atas air, datang menolong para rasul di danau Tiberias [Mat. 14.22-32]. Ia mengajak `jangan takut, inilah Aku', [Mat 14.27]. Imam jangan membiarkan diri dikecutkan oleh kesulitan; percayalah akan Dia. Panggilan imamat, ditanam dengan efektif oleh Kristus dalam para imam dan oleh kamu diterima dengan kerendahan hati yang melimpah, bagaikan tanah subur yang pasti akan memberikan buah-buah yang melimpah.
Seperti Petrus, imam perlu keluar menyongsong Kristus, memandang wajah penuh belas kasihanNya: lewat doa-doa dan dalam praktek sakramen pengampunan, agar dapat mengatasi beratnya kelemahan, keterbatasan dan dosa-dosa. S. Yohanes Krisostomus, mengingatkan: `Bilamana kurang kerjasama dari pihak kita, Tuhan pun tak dapat datang menolong kita' [Komentar Injil Mateus, n. 50].
Melalui ekaristi imam menemukan kebenaran dan efektifitas dari kata-kata dan perbuatan Kristus sendiri: `Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?' [Mat. 14.31]. Tangan Tuhan menopang imam; kesombongan dan iblis, akan kehilangan kekuatannya. Dari Ekaristilah imam menimba kekuatan cinta Kristus. Bapa Suci menulis 'setiap upaya kekudusan, setiap tindakan misi gereja, setiap aktualisasi dari rencana-rencana pastoral harus mendapatkan kekuatannya dari misteri ekaristi dan dalam ekaristi jugalah harus menjadi puncaknya.'
Para imam diosesan, para misionaris dan religius, temukanlah kembali, terutama dalam ekaristi, keindahan dari panggilan imamat kamu. Setiap orang hendaknya menjadi pendidik dari panggilannya dan tanpa takut mengusulkan pilihan radikal untuk menuju kekudusan.
Kata imam kudus dari Ars: `imam adalah cinta dari hati Yesus, adalah sesuatu yang amat agung, sehingga jika ia sendiri memahaminya, ia tidak akan mati.'
Banyak kegiatan, rencana pastoral dan apostolat yang tidak cukup didasarkan pada Sabda Allah dan pada Ekaristi. `Dalam tanda sederhana dari roti dan anggur, yang dirubah menjadi tubuh dan darahNya, Kristus berjalan bersama kita, sebagai kekuatan dan bekal perjalanan, dan menjadikan kita saksi-saksi pengharapan [E de Euch. n . 62].
Hidupkanlah kembali di tengah umat kristiani pengharapan yang ada pada perjamuan malam akhir / dari ekaristi: pelayanan Sang Guru, kesiapsediaan akan pengurbanan salib, pemberian diri sepenuhnya, juga 'sehati sejiwa dalam doa bersama Maria, Ibu Yesus' [Kis. 1.14].
Semoga Sang Tak Bercela, sang Wanita Ekaristi senantiasa menopang para imam mengikuti jejak Puteranya sepenuh mungkin, menjadi Kristus sendiri, Kristus yang lain, untuk tetap menjadi bentara Injil, menjadi yang akhli dalam kemanusiaan, pengenal hati umat manusia, pengambil bagian dalam kegembiraan dan harapan, kegelisahan dan kesedihan, dan serentak menjadi kontemplatif dan pecinta Tuhan.
Kepada perlindungan Maria, Ratu para rasul dan Ibu para imam, kita memohon agar ia menemani perjalanan pelayanan mereka, seperti ia menemani para rasul dan murid di senakel. Semoga doa Bintang Evangelisasi memberikan rahmat kesetiaan pada panggilan imamat. Semoga Sang Terkandung tanpa cela hadir di tengah komunitas gerejani yang menjadi sebuah tanda yang nampak `bagaikan kota yang ditempatkan di atas gunung' dan bagaikan `lampu yang di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang…' [Mat. 5:14-15].
Yesus Kristus menetapkan imamat pada Perjamuan Malam Terakhir, ketika Ia mengatakan kepada para rasul, “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.” Yang Ia maksudkan, tentu saja, adalah apa yang baru saja Ia Sendiri lakukan, mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya Sendiri yang hidup.
Tuhan menjadi manusia agar Ia dapat wafat bagi kita di atas Salib. Tetapi Ia juga menjadi manusia agar dapat tinggal di tengah kita dalam Ekaristi Kudus sebagai Kurban, Komuni dan Kehadiran Nyata.
Namun demikian, tidak akan ada Ekaristi tanpa Santa Perawan Maria. Allah, sebagai Allah, telah ada dalam dunia saat Ia menciptakan dunia. Ia pastilah sudah ada, jika tidak, maka dunia tidak akan ada.
Apakah yang terjadi dalam peristiwa Kabar Sukacita saat Perawan Maria mengatakan kepada malaikat, “Terjadilah padaku menurut perkataanmu”? Pada saat itulah Tuhan menjadi ada dalam dunia sebagai Allah-Manusia. Andai tidak ada Maria, tidak akan ada Inkarnasi. Andai tidak ada Maria, tidak akan ada Ekaristi Kudus.
Begitu hal ini dipahami, imamat kita mendapatkan maknanya yang sebenarnya. Andai tidak ada kita, para imam, menyusuri kembali tahbisan kita ke Perjamuan Malam Terakhir, maka tidak akan ada Sakramen Ekaristi.
Sebab itu, beranilah kita menarik kesimpulan berikut: Kita, para imam, amat penting bagi kehadiran di dunia Yesus Kristus, Putra Allah, yang menjadi Putra Santa Perawan Maria. Tanpa para imam, Kurban Kalvari tidak akan diperbaharui dalam Kurban Misa; tanpa imam, umat beriman tidak akan menerima Yesus dalam Komuni Kudus; tanpa imam, Kristus yang hidup tidak akan berada di dunia sekarang sehingga kita dapat bersembah sujud dan memohon samudera rahmat yang kita butuhkan.
Semuanya ini menghantar kita pada satu kesimpulan penting: tanpa Bunda Maria, tidak akan ada imamat Katolik di dunia. Mengapa? Sebab tanpa Bunda Maria tidak akan ada Ekaristi.
Jadi, bagaimanakah seharusnya kita menanggapi hal ini? Kita menanggapinya dengan tiga cara, yaitu: devosi yang terlebih mendalam kepada Bunda Maria sebagai Bunda Imamat kita; iman yang terlebih mendalam akan kuasa-kuasa imamat kita; dan kasih yang terlebih mendalam akan Yesus Kristus, Putra Maria, yang ada di tengah-tengah kita dalam Ekaristi Kudus.
Bagaimanakah kita bertumbuh dalam devosi kepada Bunda Maria? Dengan berbicara kepadanya sesering mungkin. Bagaimanakah kita bertumbuh dalam iman akan kuasa-kuasa imamat kita? Dengan menumbuh-kembangkan iman akan Ekaristi Kudus di antara mereka yang kita layani. Tidak ada yang lebih dibutuhkan Gereja Katolik sekarang ini daripada pemahaman yang lebih teguh, lebih jelas dan lebih hidup akan Ekaristi Kudus. Bagaimanakah kita bertumbuh dalam kasih yang terlebih mendalam kepada Yesus Kristus dalam Sakramen Mahakudus? Dengan memanfaatkan setiap kesempatan untuk berada di hadirat kehadiran Ekaristis-Nya sepanjang hari dan, perlu saya tambahkan, hingga malam hari.
ika saya boleh mengemukakan sedikit pendapat dari sudut pandang saya sebagai seorang imam (ini tidak mewakili pandangan semua imam), maka bagi saya:
Pastor yang baik adalah pastor yang berani menerima dirinya apa adanya. Beberapa teman seimamat (saya sebut confrater) menjadi aneh dalam pandangan kami, sebab tidak berani menerima keluarganya. Maklum, tidak jarang confrater berasal dari keluarga miskin. Ketika menjadi pastor dia mengalami lonjakan status sosial dengan aneka bentuk hal yang mengikutinya: punya mobil (meski milik paroki), didengarkan orang jika berbicara (orang miskin sering kali terbungkam), punya kekuasaan (orang miskin tidak mempunyai kuasa kecuali atas dirinya sendiri, inipun masih sering tidak dimiliki), dan sebagainya. Nah, semuanya itu sekarang dia peroleh, sehingga dia lupa akan akar hidupnya. Akibatnya, akan kelihatan "aneh".
Pastor yang baik adalah pastor yang menjadi dirinya sendiri. Semua gelar, status, kepemilikan itu bukan miliknya; dirinya tetap seperti dulu ketika belum jadi pastor. Akan repot jadinya, kalau pastor ingin menjadi seseorang seperti yang diinginkan orang. Akibatnya dia menggunakan topeng. Padahal ini capek kan? Nah, ketika dia tidak tahan lagi memakai topeng, dia bisa meledak. Makanya saya berusaha menjadi diri saya sendiri. Kalau umat tidak setuju dengan diri saya, ya udah.. itu hak umat, sebab saya juga harus berani menerima umat apa adanya. Jadi, harus ada timbal balik dong... Karenanya, saya tidak membedakan bergaul dengan anak-anak sampai orang tua. Saya tidak berusaha menjadi pastor ideal, sebab itu akan membuat saya aneh saja.
Pastor yang baik adalah pastor yang dapat menjadi saluran rahmat Allah. Karenanya, umat diminta mendoakan. Bukan agar dia kudus, melainkan agar saluran itu tidak bocor atau tersumbat, sehingga rahmat Allah tetap lancar. Bayangkan saja seperti talang (saluran air hujan) di rumah. Kalau talang penuh dengan sampah atau bocor, kan airnya akan habis ketika sampai di ujung. Nah, siapa yang merawat talang air itu? Ya umat dan diri pastor itu sendiri. Repotnya, umat sering tidak mampu. Jujur saja, banyak confrater dikelilingi oleh orang kaya dan cantik, sebab orang miskin dan jelek tidak berani datang ke pastor kecuali minta bantuan. Nah, kemana orang kaya membawa para pastornya? Ke rumah makan, taman rekreasi, luar negeri (katanya ziarah, tapi 90% hanya keliling Eropa). Bagaimana kebersihan talang bisa terjamin kalau diisi dengan aneka hal macam itu? Jarang sekali umat mengajak pastor doa, retret, menyepi dll, kecuali umat meminta pastor untuk memberi retret, memimpin doa lingkungan, dll. Ini kan sama saja umat menimba air dari sumur pastor. Nah, kalau sumur itu terus ditimba, apakah akhirnya tidak akan kering? Umat memang mengandaikan bahwa pastor punya jadwal doa, tapi apakah sungguh dilaksanakan? Banyak confrater tidak berdoa lagi.
Pastor yang baik adalah pastor yang punya visi pengabdian pada orang lain, artinya orang yang melakukan karya kerasulan yang nyata. Meski sering pulang malam, bahkan dini hari, saya tidak pernah diprotes umat, sebab mereka tahu kemana saya pergi, yaitu ke tempat yang mereka hindari. Mereka bisa melihat aktifitas saya. Maka, meski saya goncengan dengan gadis pun mereka tidak protes, sebab mereka melihat apa yang saya kerjakan, mereka melihat teman-teman saya yang kumuh dan jorok, teman-teman preman dan aktifis. Coba kalau yang saya goncengkan nonik-nonik manis terus menerus, pasti sebentar saja akan terjadi isu heboh. Ini sudah kejadian disini. Saya sering goncengan dengan seorang gadis ke tempat aktifitas selama bertahun-tahun tidak ada isu, eh ada confrater suka belanja ke makro dengan seorang ibu, padahal naik mobil, isu berkembang pesat sampai ada penyidangan dari Depar segala. Nah, perbedaannya adalah saya pergi untuk kerasulan sedang yang lain pergi untuk makan dan belanja.
Pastor yang baik adalah pastor yang bisa "mancalo putra mancalo putri" artinya bisa beradaptasi dengan siapa saja dia bergaul: bisa dengan orang kaya maupun miskin, dengan laki maupun perempuan, tua maupun muda.
. Siapa itu imam Katolik?
Seorang imam Katolik adalah seorang laki-laki yang dipanggil Tuhan untuk melayani Gereja dalam pribadi Kristus sang Kepala. Ia adalah seorang yang mengasihi Tuhan, Gereja dan Umat yang ia layani. Ia mengamalkan kasihnya ini melalui ikrar setia selibat, ketaatan dan kesahajaan hidup. Ia adalah seorang yang berakar dalam doa, yang dengan sukacita dan semangat rela berkorban memberikan hidupnya bagi sesama.
2. Siapa itu imam diosesan?
Seorang Imam Diosesan adalah seorang Imam Paroki. “Diosesan” berasal dari kata Yunani yang berarti “menata rumah,” dan kata Yunani “paroki” yang berarti “tinggal dekat.” Seorang imam diosesan adalah seorang imam yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari umat. Ia “tinggal dekat mereka” dalam segala hal, dan membantu uskup setempat untuk “menata rumah” dalam keluarga Allah, entah sebagai seorang pastor pembantu atau sebagai pastor kepala paroki (dan kadang kala dalam pelayanan-pelayanan seperti pengajaran, atau melayani sebagai pastor mahasiswa, atau pastor di rumah sakit, di pangkalan militer, atau di penjara). Seorang pastor paroki bertanggung jawab atas segala pelayanan yang diselenggarakan oleh paroki dan atas administrasi paroki.
Sebagian besar imam di seluruh dunia adalah imam diosesan. Mereka ini ditahbiskan untuk berkarya di suatu diosis (= keuskupan) atau di suatu arki-diosis (= keuskupan agung) tertentu. Seorang imam diosesan merupakan bagian dari satu presbiterium (= dewan imam), yang beranggotakan para imam dari suatu diosis/arki-diosis yang sama, dan karenanya berada di bawah kepemimpinan uskup yang sama.
Pada saat ditahbiskan sebagai diakon (biasanya sekitar satu tahun sebelum ditahbiskan sebagai imam) mereka berikrar setia untuk menghormati dan mentaati uskup diosesan dan para penerusnya. Mereka juga berikrar setia untuk hidup dalam kemurnian, dan sesuai dengan status klerus mereka (termasuk di dalamnya hidup bersahaja). Berbicara secara teknis, para imam diosesan tidak mengucapkan kaul dan tidak berikrar kemiskinan. Mereka menerima gaji sekedarnya dari paroki atau lembaga Katolik lainnya yang mereka layani. Oleh karena tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan dasar telah dipenuhi oleh paroki di mana mereka berkarya, maka gaji mereka yang sedikit itu lebih dari cukup untuk memenuhi keperluan-keperluan pribadi mereka, misalnya pakaian, biaya berlibur, mobil dan sumbangan amal kasih.
Dalam tahbisan diakonat, uskup menerima ikrar setia para diakon dan para imam, dan dengan demikian menginkardinasi mereka ke dalam keuskupan. Ini mendatangkan hak-hak tertentu bagi diakon calon imam dan imam diosesan - misalnya hak untuk mendapatkan dukungan dari gereja diosesan - dan mengenakan kepada mereka kewajiban untuk berkarya bagi gereja diosesan di bawah kepemimpinan uskup. Ini merupakan komitmen atas tanggung jawab seumur hidup. Karena sebagian besar karya keuskupan dilaksanakan di paroki-paroki, maka pada umumnya seorang imam diosesan berkarya di suatu paroki. Imam diosesan sering juga disebut imam praja atau imam sekulir, sebab karya utama mereka adalah pastoral, yaitu membantu umat yang berada dalam dunia pada masa sekarang ini (Latin saeculum, artinya dunia, masa).
3. Apa beda imam religius dan imam diosesan?
Seorang imam religius adalah anggota dari suatu ordo atau lembaga religius. Suatu ordo atau lembaga religius adalah suatu serikat yang dibentuk Gereja guna mempromosikan suatu gaya hidup atau suatu spiritualitas tertentu, atau untuk melaksanakan suatu karya tertentu. Sebagian besar anggota komunitas religius berkarya di lebih dari satu keuskupan, dan banyak lainnya berkarya lintas negara. Setiap komunitas religius memiliki konstitusinya sendiri, dan para anggotanya hidup menurut suatu peraturan hidup yang ditetapkan. Sebagian anggota komunitas religius berkarya di paroki-paroki, sedangkan yang lainnya tidak. Para imam religius berkarya sebagai pastor rumah sakit, memberikan retret, mengajar, pembicara, pastor paroki, misionaris dan di berbagai macam bidang lainnya. Setiap komunitas religius memiliki karisma, atau karunia Roh Kudus. Para imam yang adalah anggota suatu komunitas religius membawa karisma itu ke dalam karya mereka.
Uskup diosesan mengawasi para imam religius apabila para imam ini terlibat dalam pelayanan aktif dalam keuskupannya. Tidak ada suatu komunitas pun yang dapat berkarya di suatu diosis tanpa ijin uskup diosesan. Superior komunitas religius mengawasi karya internal komunitas. Jika suatu komunitas religius melayani kebutuhan umat di suatu paroki tertentu, maka komunitas religius tersebut berkarya berdasarkan suatu kesepakatan dengan uskup diosesan.
Seorang imam religius mengucapkan kaul kemurnian, kaul ketaatan dan kaul kemiskinan; mereka tidak diperkenankan memiliki harta pribadi. Biasanya, imam religius tinggal bersama sejumlah imam atau broeder dari komunitas religiusnya. Pada umumnya, mereka berkarya dalam suatu pelayanan tertentu, misalnya pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan atau karya misi. Pelayanannya kepada Gereja dapat menjangkau melintasi batas-batas keuskupan: ia dapat saja diutus ke manapun di suatu pelosok dunia di mana komunitasnya berkarya. Sebaliknya, seorang imam diosesan, pada umumnya melayani sebatas wilayah keuskupan di mana ia ditahbiskan. Ia tunduk pada uskup diosesan. Seorang imam diosesan tidak mengucapkan kaul.
4. Mengapa menjadi seorang imam?
Seorang laki-laki menjadi imam bukan bagi dirinya sendiri melainkan bagi orang-orang lain. Imamat merupakan suatu cara hidup yang unik dan penuh kuasa demi menyelenggarakan pelayanan bagi kebutuhan-kebutuhan rohani orang-orang lain. Imam adalah sungguh merupakan kehadiran unik Tuhan Sendiri di dunia ini, yang diperlengkapi kuasa untuk menghadirkan Tuhan. Orang tidak ditahbiskan atau orang tidak menjadi imam bagi dirinya sendiri, tetapi ia ditahbiskan bagi orang-orang lain. Seorang imam memberikan hidupnya sendiri agar yang lain dapat hidup.
5. Apakah seorang imam kehilangan kebebasannya?
Seorang imam diosesan berikrar setia secara resmi untuk taat kepada uskupnya. Ikrar ketaatan ini mengikatkan imam kepada uskupnya dalam suatu cara demi menjamin bahwa kebutuhan-kebutuhan umat Allah terpenuhi. Kebebasan dalam kehidupan dan pelayanan imam adalah bagaikan kebebasan anak-anak dalam kehidupan orangtua mereka. Orangtua bertanggung jawab atas anak-anak mereka. Demikian pula, dalam mengambil keputusan seorang imam pertama-tama memikirkan kepentingan yang lain terlebih dahulu, yaitu umat yang dipercayakan kepadanya, dan uskupnya yang bertanggung jawab atas seluruh keuskupan
6. Apa yang dilakukan seorang imam?
Tujuan dasar dari pelayanan seorang imam adalah mewartakan Sabda Allah. Imam melakukannya dengan beragam cara. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya demi mempersiapkan dan merayakan sakramen-sakramen (Ekaristi, Tobat, Baptis, Perkawinan, Pengurapan Orang Sakit). Setiap hari selalu diluangkannya waktu untuk berdoa. Mengunjungi yang sakit, mengunjungi umat dan bekerjasama dengan paroki-paroki lain dan dengan berbagai kelompok organisasi merupakan bagian dari pelayanannya pula. Seorang imam diosesan harus siap sedia melayani umat apabila mereka membutuhkan bantuan. Ia kerap kali terlibat dalam konseling pribadi, (masalah perkawinan, obat-obatan terlarang, masalah orangtua/guru, atau sekedar berbagai masalah pada umumnya). Imam memilih untuk tinggal di tengah suatu komunitas iman tertentu (suatu paroki), dan dengan demikian ia bertindak sebagai pemimpin yang memberikan perhatian sosial dan spiritual bagi umatnya. Sama seperti orang lain pada umumnya, seorang imam juga membutuhkan waktu untuk berolah raga, beristirahat dan relaks - waktu di mana ia dapat melakukan apa yang ia sukai; hal-hal seperti sports, hobi, musik, dll.
7. Bagaimanakah hari-hari seorang imam?
Seorang imam bekerja dan berkarya setiap hari demi membangun jembatan antara langit dan bumi. Imam membawa Tuhan kepada manusia dan manusia kepada Tuhan. Setiap hari berbeda baginya, tergantung pada karya di mana ia terlibat. Namun demikian, satu hal yang pasti bagi setiap imam adalah merayakan Misa. Setiap imam sebisanya merayakan Ekaristi setiap hari. Dengan menghadirkan Yesus dalam Ekaristi, imam dipanggil untuk menghadirkan Yesus pula dalam setiap detik hidupnya. Hal ini mungkin terjadi pada saat pertemuan, kunjungan ke rumah atau rumah sakit, mengajar, menyampaikan khotbah ataupun sekedar hadir bersama yang lain. Sungguh, hari-hari seorang imam adalah hari-hari yang sibuk, melelahkan, beragam variasi, namun mendatangkan keselamatan, yang menuntut stamina fisik, disiplin mental dan kedewasaan rohani. Hidup seorang imam adalah hidup bagi orang lain; hidup bagi pelayanan kasih. Jadi, meski kesibukan dalam hari-harinya tak dapat diprediksi, tetapi wajib senantiasa merupakan pelayanan kasih, pertama-tama bagi Tuhan, dan kemudian bagi sesama.
8. Apakah seorang imam diosesan mendapatkan suatu pelatihan khusus?
Seorang imam diosesan pertama-tama dipersiapkan untuk menjadi seorang imam paroki. Ia mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk melakukan segala hal yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari Gereja. Ia dapat juga menerima pelatihan khusus dalam bidang seperti konseling, pengajaran, pelayanan kaum muda, komunikasi, bekerja untuk orang-orang miskin, dan bidang-bidang lain yang dianggap perlu oleh Gereja.
9. Dapatkah seorang imam diosesan melayani di luar keuskupannya?
Terkadang, seorang imam diosesan dapat meminta ijin kepada uskup untuk melayani di luar keuskupannya. Seorang imam diosesan dapat melayani sebagai guru, misionaris, atau dalam kapasitas lainnya di suatu keuskupan lain.
10. Siapakah yang memiliki kualifikasi menjadi seorang imam?
Seorang laki-laki single dengan intelegensi sekurangnya rata-rata, emosional yang stabil, memiliki kemurahan hati dan kasih yang tulus bagi Tuhan pantas bagi imamat. Ia hendaknya seorang yang menikmati bekerja dengan beragam orang dan memiliki komitmen untuk menjadikan dunia suatu tempat yang lebih baik bagi umat manusia melalui pelayanan imamat. Ia hendaknya seorang individu yang penuh sukacita yang mencintai hidup dan bersedia memberikan segala-galanya bagi apapun yang Tuhan kehendaki darinya. Ia wajib mengejar kekudusan, setia pada ajaran-ajaran Gereja Katolik dan setia kepada Bapa Suci.
11. Bagaimana saya tahu Tuhan memanggil saya menjadi seorang imam?
Satu-satunya cara adalah meluangkan waktu dalam doa dan dalam diskusi dengan yang lain. Hubungi pastor paroki, Komisi Panggilan, atau seorang awam yang engkau percaya di paroki untuk membicarakan perasaan-perasaan dan imanmu. Sering kita mendengar suara Tuhan lewat sharing iman dengan yang lain.
12. Bagaimana jika saya pernah berbuat salah sebelumnya?
Seorang tidak perlu kudus untuk menjadi seorang imam, meski imam wajib merindukan kekudusan. Kemampuan untuk mencari pengampunan Tuhan dan untuk menerima kerahiman ilahi menunjukkan pertumbuhan dalam kekudusan. Seorang pembimbing rohani acapkali merupakan seorang penolong yang tepat bagi mereka yang hendak mengenali kesiapan dirinya bagi hidup dan pelayanan imamat.
13. Apakah saya harus meninggalkan keluarga, teman dan sahabat demi memenuhi panggilan imamat atau hidup religius?
Tidak. Sesungguhnya, keluarga, teman dan sahabat merupakan pendukung yang sangat penting bagi panggilan baik imam, biarawan maupun biarawati. Mereka didorong untuk ambil bagian dalam kejadian dan peristiwa-peristiwa keluarga dan menemukan cara demi mendukung para anggota keluarga melalui doa dan peran mereka. Hendaknya tuntutan Umat Allah atau komunitas religius mendapatkan prioritas dalam hidupmu. Dalam hal ini, engkau “meninggalkan” keluarga, teman dan sahabat. Tetapi, ingatlah akan janji Yesus dalam Injil Matius, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19:29).
14. Bagaimana jika saya merasa tidak layak menjadi seorang imam?
Kamu tidak sendiri! Tak seorang pun yang sesungguhnya “layak”. Bukan dari diri kita sendiri, melainkan Yesus bersabda, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16). Dengan panggilan, datanglah rahmat untuk menanggapi panggilan dengan murah hati dan segenap hati dan untuk masuk ke dalam suatu perubahan sepanjang hidup menjadi serupa dengan Yesus Kristus.
Tuhan Yesus adalah seorang imam (Ibrani 4:14: “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah”). Ia hidup selibat dan memanggil kita untuk melakukan hal yang sama. Petrus berkata: "Kami ini telah meninggalkan segala kepunyaan kami dan mengikut Engkau." Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya, orangtuanya atau anak-anaknya, akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” (Luk 18:28-30).
Abraham diminta untuk mengorbankan anaknya, Ishak (Kej 22). Melalui hidup selibat, seorang imam diminta untuk mengorbankan bukan hanya anaknya, tetapi juga isterinya. Yesus mengajarkan bahwa tidak semua orang dapat hidup selibat, tetapi mereka yang dipanggil baiklah ia melakukannya demi Kerajaan Allah: Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja - ada orang yang membuat dirinya demikian (selibat) karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” (Mat 19:10-12).
Selibat adalah tanda kebangkitan; kita semua akan hidup selibat di kehidupan yang akan datang. Yesus mengatakan: “Pada waktu kebangkitan, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.” (Mat 22:30). Sesuai dengan teladan Kristus, para imam dipanggil untuk hidup selibat di kehidupan sekarang ini dan di kehidupan yang akan datang. Elia dan Yohanes Pembaptis, dua orang nabi besar, juga hidup selibat. St. Paulus bahkan menganjurkan hidup selibat di antara kaum awam. Ia menulis: “Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin, tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Adakah engkau terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mengusahakan perceraian! Adakah engkau tidak terikat pada seorang perempuan? Janganlah engkau mencari seorang! Tetapi, kalau engkau kawin, engkau tidak berdosa. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” (1Kor 7).
Selibat bukanlah sesuatu yang tidak wajar, melainkan sesuatu yang adikodrati. Selibat adalah karunia khusus dari Tuhan. Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh Manusia. Sebagai manusia, Ia hidup sepenuhnya sebagai seorang manusia, dengan memilih hidup selibat. Selibat adalah mengorbankan keindahan hidup perkawinan demi Kerajaan Allah. Selibat bukan untuk orang yang tidak tertarik kepada lawan jenisnya. Tetapi, untuk mereka yang memang tertarik oleh lawan jenisnya. Jika mereka memang tidak tertarik, tidak akan ada pengorbanan untuk tidak menikmati hidup perkawinan. Selibat tidak menarik bagi dunia sekarang ini, karena selibat merupakan pengorbanan, dan pengorbanan bagi Tuhan bukanlah sesuatu yang disukai orang pada masa ini. Namun demikian, pendapat dunia tidaklah meresahkan Tuhan Yesus yang mengatakan: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.” (Yoh 18:36)
alam membahas masalah selibat, pertama-tama baiklah kita melihat perkembangan sejarah selibat dalam kehidupan Gereja, baru kemudian dasar spiritual dan relevansinya bagi para klerus sekarang ini.
Tuhan kita menawarkan selibat sebagai cara hidup yang sah, bukan hanya dengan cara hidup-Nya Sendiri, sebab Ia tidak pernah menikah, melainkan juga dalam ajaran-Nya. Ketika Tuhan kita menekankan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan perjanjian antara suami dan isteri, dan karenanya tidak diperbolehkan untuk bercerai dan menikah lagi (bdk Mt 19:3-12), Ia mengakhirinya dengan, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Tradisi Gereja - seperti dinyatakan dalam Katekismus Gereja Katolik No. 1579 - menunjuk “demi Kerajaan Sorga” ini sebagai dasar selibat.
Namun demikian, di masa Gereja perdana, hidup selibat bagi para klerus tidaklah dimandatkan. St Paulus dalam surat pertamanya kepada St Timotius menulis, “Penilik jemaat [Uskup] haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan” (3:2) dan “Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik” (3:12). Meski begitu, orang hendaknya tidak secara salah menafsirkan ajaran ini dengan mengartikan bahwa seorang uskup, imam atau diakon haruslah menikah; St Paulus mengakui bahwa ia sendiri tidak menikah (1 Kor 7:7).
Klemens dari Alexandria (wafat thn 215) menggemakan kembali ajaran St Paulus, “Gereja dengan sepenuhnya menerima suami dari satu isteri entah sebagai imam atau diakon atau awam, dengan senantiasa beranggapan bahwa ia tak bercacat dalam perkawinannya, dan yang dengan demikian akan diselamatkan dalam memperanakkan keturunan.”
Namun demikian, gerakan ke arah selibat para klerus mulai berkembang di lingkungan Gereja. St Epiphanius dari Salamis (wafat thn 403) mengatakan, “Gereja yang Kudus menghormati martabat imamat hingga ke tahap Gereja tidak menerimakan diakonat, presbiterat ataupun episkopat, bahkan subdiakonat, kepada siapapun yang masih hidup dalam ikatan perkawinan dan memperanakkan keturunan. Gereja hanya menerima dia, yang jika telah menikah meninggalkan isterinya atau telah kehilangan isterinya karena meninggal dunia, teristimewa di tempat-tempat di mana kanon gerejani diterapkan secara ketat.” Konsili Elvira (306), yaitu konsili lokal Spanyol, menerapkan selibat pada para uskup, para imam dan para diakon, “Kami mendekritkan bahwa segenap uskup, imam, diakon dan semua klerus yang terlibat dalam pelayanan sama sekali dilarang hidup bersama isteri mereka dan memperanakkan keturunan: siapapun yang melanggar akan dikeluarkan dari martabat klerus.” Di kemudian hari, Konsili Karthago memperluas prasyarat selibat hingga ke tingkat subdiakonat.
Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313, berkembanglah pembahasan yang lebih mendalam mengenai selibat para klerus. Dalam Konsili ekumenis Nicea I (325), Uskup Hosius dari Cordova mengusulkan suatu dekrit yang memandatkan selibat para klerus, termasuk para klerus yang telah menikah. Uskup Mesir Paphnutius, ia sendiri tidak menikah, mengajukan protes, menegaskan bahwa prasyarat yang demikian akan terlalu keras dan tidak bijaksana. Sebaiknya, para klerus yang telah menikah hendaknya terus setia kepada isteri mereka, sementara yang belum menikah hendaknya memutuskan secara pribadi apakah ia hendak hidup selibat atau tidak. Jadi, tidak ada prasyarat yang dimandatkan Gereja bagi para imam untuk selibat.
Namun demikian, pada waktu itu, muncul semangat spiritual baru “kemartiran putih”. Semasa penganiayaan, banyak yang menderita “kemartiran merah,” mencurahkan darah demi iman. Dengan kemartiran putih, para laki-laki dan perempuan memilih untuk dengan sukarela mengingkari hal-hal dari dunia ini dan mati bagi diri mereka yang lama, agar dapat bangkit kembali untuk hidup dalam suatu kehidupan yang sepenuhnya dibaktikan kepada Kristus. Gagasan kemartiran putih ini mendorong lahirnya monastisisme dan kaul-kaul kemiskinan, kemurnian (termasuk selibat), dan ketaatan.
Pada point ini, tradisi selibat para klerus berbeda antara tradisi Gereja Barat dan Gereja Timur. Dalam Gereja Barat, beberapa paus mendekritkan selibat: Damasus I (384), Siricius (385), Innosensius I (404), dan Leo I (458). Konsili-konsili lokal menerbitkan maklumat selibat bagi para klerus: di Afrika, Karthago (390, 401-19); di Perancis, Orange (441) dan Tours (461); dan di Italia, Turin (398). Pada masa Paus Leo I (wafat thn 461), tidak ada uskup, imam, diakon ataupun subdiakon yang diperkenankan menikah. Namun demikian, ketentuan-ketentuan tersebut tidak selalu dilaksanakan seperti yang seharusnya.
Dalam Gereja Timur, terdapat perbedaan antara uskup dan para klerus lainnya mengenai apakah mereka harus selibat. Kitab Hukum Sipil Kaisar Justinian melarang siapapun yang mempunyai anak atau bahkan keponakan untuk ditahbiskan sebagai seorang uskup. Konsili Trullo (692) memandatkan bahwa seorang uskup harus selibat, dan jika ia telah menikah, ia harus berpisah dari isterinya sebelum ditahbiskan sebagai uskup. Para imam, diakon dan subdiakon dilarang menikah setelah pentahbisan, meski mereka hendaknya terus memenuhi janji perkawinan mereka andai telah menikah sebelum pentahbisan. Ketentuan-ketentuan ini hingga kini masih berlaku bagi sebagian besar Gereja-gereja Timur.
Yang menyedihkan, pada Abad Pertengahan, muncul kasus-kasus penyelewengan dalam selibat para klerus, yang menimbulkan reaksi keras dari Gereja. Sinode Augsburg (952), dan konsili-konsili lokal: Anse (994) dan Poitiers (1000) semuanya mengukuhkan peraturan selibat. Paus Gregorius VII pada tahun 1975 melarang para imam yang menikah atau yang memiliki selir mempersembahkan Misa atau melakukan pelayanan-pelayanan gerejani lainnya, dan melarang kaum awam ikut ambil bagian dalam Misa atau dalam pelayanan-pelayanan liturgis lainnya yang dilayani oleh para imam yang demikian. Akhirnya, Konsili Lateran Pertama (1123), suatu konsili Gereja yang ekumenis, memandatkan selibat bagi para klerus Barat. Konsili Lateran Kedua (1139) kemudian mendekritkan Tahbisan Suci sebagai halangan dari suatu perkawinan, dengan demikian menjadikan segala usaha perkawinan oleh seorang klerus tertahbis menjadi tidak sah. Dan pada akhirnya, peraturan-peraturan mengenai selibat tampaknya menjadi jelas dan konsisten di segenap penjuru Gereja Katolik.
Di kemudian hari, para pemimpin Protestan memperolok dan menyerang disiplin selibat para klerus, sebagian dikarenakan adanya penyelewengan-penyelewengan tercela yang terjadi dalam masa Renaissance. Sebagai tanggapan, Konsili Trente dalam Ajaran dan Kanon mengenai Sakramen Tahbisan (1563) menyatakan bahwa meskipun selibat bukanlah suatu hukum ilahi, namun Gereja memiliki otoritas untuk menetapkan selibat sebagai suatu disiplin. Sembari menjunjung tinggi selibat, Gereja tidak memandang rendah kesakralan hidup perkawinan ataupun cinta kasih suami isteri. Di samping itu, Konsili menegaskan bahwa selibat bukanlah cara hidup yang mustahil, sekaligus mengakui bahwa dalam selibat sungguh dibutuhkan rahmat Tuhan.
Gereja Katolik terus-menerus meneguhkan disiplin selibat para klerus, yang paling akhir adalah dalam dekrit Konsili Vatikan Kedua “Presbyterorum ordinis” (1965), ensiklik Paus Paulus VI “Sacerdotalis Caelibatus” (1967), dan dalam Kitab Hukum Kanonik (1983).
Setelah menelusuri perkembangan historis mengenai bagaimana selibat ditetapkan bagi para klerus dalam Gereja Katolik Roma (terkecuali di beberapa Gereja-gereja Ritus Timur), sekarang kita akan membahas spiritualitas yang mendasari peraturan ini.
Konsili Vatikan Dua dalam Dekrit mengenai Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (Presbyterorum ordinis) (1965) menegaskan, “Pantang sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah dianjurkan oleh Kristus Tuhan, dan di sepanjang masa, juga zaman sekarang ini, oleh banyak orang Kristen telah diterimakan dengan sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh Gereja selalu sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan lambang dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa kesuburan rohani di dunia” (No. 16). Sembari mengakui bahwa selibat tidak dituntut oleh imamat berdasarkan hakekatnya, Konsili menegaskan bahwa selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat: “Dengan menghayati keperawanan atau selibat demi Kerajaan Sorga, para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi Kristus. Mereka lebih mudah berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi, lebih bebas dalam Kristus dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya kelahiran kembali adikodrati, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk menerima secara lebih luas kebapaan dalam Kristus. Jadi dengan demikian mereka menyatakan di hadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri kepada tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus. Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan perkawinan penuh rahasia, yang telah diciptakan oleh Allah dan di masa depan akan ditampilkan sepenuhnya, yakni bahwa Gereja hanya mempunyai Kristus sebagai Mempelai satu-satunya. Kecuali itu mereka menjadi lambang hidup dunia yang akan datang, tetapi sekarang sudah hadir melalui iman dan cinta kasih: di situ putera-puteri kebangkitan tidak akan menikah dan dinikahkan” (Luk 20:35-36).
Paus Paulus VI menggaris-bawahi tema yang sama ini dalam ensiklik Sacerdotalis Caelibatus (1967), yang sesungguhnya ditulis di saat sebagian orang mempertanyakan perlunya mandat selibat. Bapa Suci menunjukkan tiga “makna” atau pentingnya selibat: Kristologis, eklesiologis dan eskatologis. Dalam arti Kristologis, seorang imam wajib memandang Kristus sebagai imam teladan yang abadi. Pengenalan akan Kristus ini merasuki seluruh keberadaannya. Sama seperti Kristus tetap selibat dan membaktikan hidup-Nya demi pelayanan kepada Bapa-Nya dan kepada segenap umat manusia, demikianlah seorang imam menerima selibat dan mengkhususkan diri sepenuhnya untuk melayani perutusan Tuhan. Pemberian diri dan komitmen total kepada Kristus ini merupakan lambang Kerajaan Surga yang sudah hadir sekarang ini.
Dalam arti eklesiologis, sama seperti Kristus dipersatukan sepenuhnya dengan Gereja, demikianlah imam, melalui selibat mengikat hidupnya dengan Gereja. Ia akan dapat lebih cakap dalam menjadi Pelayan Sabda Allah - mendengarkan Sabda, merenungkan kedalamannya, mengamalkannya, dan mewartakannya dengan keyakinan sepenuh hati. Imam adalah Pelayan Sakramen-sakramen, dan, teristimewa melalui Misa, bertindak selaku in persona Christi, mempersembahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Selibat memberikan kepada imam lebih banyak kebebasan dan keleluasaan dalam menunaikan karya pastoralnya, “[Selibat] memberikan kepada imam, bahkan dalam segi praktis, efisiensi yang maksimum dan disposisi batin yang terbaik, psikologis maupun emosional, dalam melaksanakan secara terus-menerus karya karitatif yang sempurna. Karya karitatif ini akan memberinya kesempatan untuk memberikan dirinya sepenuhnya demi kesejahteraan semua orang, dalam cara yang lebih penuh dan lebih konkrit” (Sacerdotalis Caelibatus, No. 32).
Terakhir, dalam arti eskatologis, hidup selibat memberikan gambaran akan kebebasan yang akan dimiliki manusia di surga kelak ketika telah dengan sempurna dipersatukan dengan Tuhan sebagai anak-Nya.
Kitab Hukum Kanonik merefleksikan ketiga “makna” ini dalam Kanon 277, yang memandatkan selibat para klerus, “Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak sempurna dan seumur hidup demi Kerajaan surga, dan karena itu terikat selibat yang merupakan anugerah istimewa Allah; dengan itu para pelayan rohani dapat lebih mudah bersatu dengan Kristus dengan hati tak terbagi dan membaktikan diri lebih bebas untuk pengabdian kepada Allah dan kepada manusia.”
Sepanjang ajaran Gereja mengenai selibat, tiga dimensi penting perlu dicamkan: Pertama, selibat menyangkut kebebasan. Seorang laki-laki, ketika dipanggil dalam Tahbisan Suci dengan sukarela menerima kewajiban selibat, setelah refleksi dan permenungan dalam doa. Setelah membuat keputusan tersebut, selibat sungguh memberikan kepada uskup, imam atau diakon kebebasan untuk mengidentifikasikan diri dengan Kristus dan melayani Kristus dan Gereja tanpa keberatan, tanpa syarat ataupun keraguan. Pada kenyataannya, imam tidak terbagi antara menunaikan tugas kewajiban bagi paroki dan bagi keluarganya.
Kedua, selibat menyangkut kurban, dan suatu kurban adalah suatu tindakan kasih. Sebagai misal, ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah, mereka berkurban untuk hidup “dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit hingga maut memisahkan.” Mereka berkurkan untuk mengamalkan kasih yang setia, tidak lagi membagi kasih dengan yang lain atau memberi diri untuk kenikmatan-kenikmatan yang egois. Ketika pasangan tersebut menjadi orangtua, mereka berkurban untuk menopang pertumbuhan anak-anak mereka. Keputusan kasih senantiasa membawa serta pula kurban.
Paus Yohanes Paulus II telah berulang kali membela disiplin selibat, menyebutnya sebagai “anugerah Roh Kudus.” Dalam surat Kamis Putih kepada para imam tahun 1979 (No. 8), yang ditulis di awal pontifikatnya, saat sebagian orang berspekulasi bahwa ia mungkin mengubah disiplin ini, Bapa Suci menegaskan, “… Selibat “demi Kerajaan Surga” bukan hanya merupakan suatu lambang eskatologis belaka; melainkan juga memiliki makna sosial yang mendalam, dalam kehidupan sekarang, demi pelayanan Umat Allah. Melalui selibat, imam menjadi `man for others', dengan cara yang berbeda dari laki-laki pada umumnya, yang dengan mengikat diri dalam ikatan perkawinan dengan seorang perempuan, sebagai suami dan ayah, juga menjadi `man for others', teristimewa dalam lingkup keluarganya sendiri: untuk isterinya dan, bersama dengan isterinya, untuk anak-anak mereka, kepada siapa ia memberikan diri. Seorang imam, dengan melepaskan hak kebapakannya yang layak bagi laki-laki yang menikah, mengambil bentuk kebapakan yang lain, dan seolah, sekaligus keibuan, dengan mengingat kata-kata rasul mengenai anak-anak yang diperanakkannya dalam penderitaan.” Guna menekankan panggilan imam dalam melayani Umat Allah, Bapa Suci menambahkan, “Hati seorang imam, agar didapati layak bagi pelayanan ini, haruslah bebas. Selibat adalah tanda kebebasan yang nyata demi pelayanan ini” (No. 8).
Demikianlah dengan para klerus. Menjadi seorang imam berarti mempersembahkan diri sebagai kurban bagi Kristus demi kebaikan Gereja-Nya. Imam berkurban dari menikah dengan seorang perempuan dan memiliki keluarganya sendiri; sebaliknya ia memberikan diri untuk “dikawinkan” dengan Kristus dan Gereja-Nya serta melayani segala kebutuhan mereka sebagai seorang “bapa”.
Yang terakhir, dalam hidup selibat sungguh dibutuhkan rahmat Tuhan. Berulangkali, selibat dipandang sebagai anugerah Roh Kudus. Namun demikian, anugerah ini tidak hanya memampukan orang untuk mengendalikan hasrat jasmaninya atau hidup sebagai seorang jejaka; melainkan anugerah ini juga memampukan orang untuk dapat menjawab “ya” kepada Tuhan setiap hari dan mengamalkan hidup-Nya.
Secara ringkas, Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Amanat kepada para Imam Paroki Roma tanggal 26 Februari 2004 mengatakan, “... Tepatnya dalam selibat, yang disambut dan dipelihara dengan sukacita, kita pada gilirannya dipanggil untuk mengamalkan kebenaran kasih dengan suatu cara yang berbeda walau sama penuhnya, memberikan diri kita secara total bersama Kristus kepada Tuhan, kepada Gereja, dan kepada saudara serta saudari kita dalam kemanusiaan.”
Sayangnya, dalam dunia kita, banyak orang tidak dapat menghargai disiplin selibat, entah bagi kaum klerus maupun yang lain. Kita hidup dalam masyarakat di mana media membombardir kita dengan tayangan-tayangan seksual yang tak terkendali. Jika orang tak dapat menghargai nilai-nilai keperawanan sebelum perkawinan, kesetiaan dalam hidup perkawinan, atau pengurbanan demi anak-anak, maka ia tak dapat mulai menghargai siapapun - entah laki-laki atau perempuan - yang menempuh hidup selibat sebagai bakti diri dalam panggilan.
Di tengah skandal dalam Gereja, di mana beberapa imam telah melanggar kaul selibat dan menyakiti anak-anak, sebagian orang mengusulkan perkawinan bagi kaum klerus guna mengurangi, jika tidak menghapus sama sekali, terjadinya skandal yang demikian. Sesungguhnya, sebagian besar kasus pelecehan yang menyangkut anak-anak (incest, pedophilia, dsb) terjadi dalam rumah di antara kerabat. Seorang yang menderita penyakit yang demikian tidak akan berubah karena ia tak lagi harus hidup selibat. Lagipula, jika Gereja sungguh mengubah prasyarat selibat, maka skandal berikutnya yang akan menjadi sorotan media kemungkinan besar adalah perselingkuhan atau perceraian di antara kaum klerus. Mengubah prasyarat sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
Sebagai warga Gereja, patutlah kita berterima kasih kepada para klerus, pula kepada para biarawan dan biarawati, yang telah mempersembahkan diri secara total karena cintanya demi melayani Tuhan dan Gereja. Sungguh sayang, media jarang menyoroti karya-karya kebajikan yang dilakukan oleh begitu banyak kaum klerus yang penuh dedikasi, maupun oleh para biarawan dan biarawati.
Topi, tali ikat pinggang gembala, dan jumbai bersusun tiga warna hijau adalah lambang jabatan episkopal tradisional Gereja untuk jabatan pelayanan uskup. Yang diisyaratkan oleh jabatan ini adalah pelayanan, bukan kuasa (mahkota, sabuk kehormatan, tanda pangkat, dsb). Untaian tali ikat pinggang gembala dirangkai membentuk huruf M, mengisyaratkan perlindungan Bunda Maria sebagai Bunda Gereja dan teladan iman.
“Perisai” jabatan ini digambarkan dengan penampang depan kapal - lambang Gereja sebagai bahtera - yang berlayar, berziarah, “homo viator” bersama segenap umat manusia menuju pelabuhan akhir kebahagiaan abadi bersama Allah.
Perisai terdiri dari bagian-bagian yang digambarkan dengan:
Tiang Perahu Salib:
sebagai kemudi penentu arah ke mana tujuan bahtera (“Mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang”, 1 Kor 11:26), arah dan esensi hidup Kristiani.
Jangkar dan Tanda Salib:
jangkar lambang alat menambatkan dan berlabuhnya Gereja. Di tengah arus jaman dan badai dunia Gereja menambatkan diri dengan jangkar salib agar tak hanyut, hingga akhirnya berlabuh kelak di pelabuhan hidup abadi.
Piala & Hosti (lambang Ekaristi) dan kapas, padi & daun zaitun (lambang kesejahteraan sosial: sandang, pangan, damai) di kwadran kiri:
kesemuanya melambangkan sarana dan kekuatan hidup di dunia yang diperoleh dari santapan rohani dari Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Kristiani, dan hidup insani sandang pangan yang diperoleh dengan karya dan kebenaran serta damai karena kepekaan pada nasib mereka yang kecil dan menderita.
Tongkat Gembala Kristus dan Tugu Pahlawan di kwadran kanan:
melambangkan kekhasan arek-arek Suroboyo yang berani berkorban, mengabdi dan melayani tanpa pamrih yang perlu diluruskan dan diarahkan oleh Gembala Yang Baik, yang rela mempertaruhkan nyawa bagi domba-Nya.
Pita Warna Biru Laut (lambang arus / gelombang perjuangan hidup) dengan tulisan bahasa Latin, “Ut vitam abundantius habeant” (kutipan lengkap dari Yoh 10:10, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”):
mengisyaratkan arah hidup Kristiani yang beriman kepada Kristus yang memberi hidup ilahi (bukan sembarang dan asal hidup, Yohanes memakai kata “zoe”, bukan “bios” dalam istilah Yunaninya). Iman yang semakin dewasa di tengah arus gelombang hidup, yang menghayati hidup ilahi di dunia, sehingga orang mengalami hidup yang penuh-berkelimpahan.
Keseluruhan lambang ini berada dalam matriks segitiga cembung lambang kasih dan perlindungan Tritunggal Mahakudus: Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Imam/Biarawan/Biarawati mengucapkan 3 kaul:
1. Kaul Ketaatan
2. Kaul Kemiskinan
stilah ”Frater” = kakak/saudara tua = calon Imam / Pastor
Lama belajar antara 7-8 thn:
3. Tahap Postulat: 1 thn
4. Tahap Novis: 1 thn
5. Tahap Filosofan (studi Filsafat): 3 thn
6. Tahap Toper (praktek pastoral di Paroki): 1-2 thn
7. Tahap Teologan (studi Teologi): 2 thn
8. Tahap Diakonat: +/- 6 bulan di Paroki lagi(Diakon sudah termasuk Klerus, artinya bukan awam, karena sudah ditahbiskan sebagai Diakon)
9. Kaul Kemurnian
Syarat menjadi seorang imam
• Semua orang pria/laki-laki yang tidak terikat pernikahan, yang beragama / iman Katolik
• Dewasa dalam kepribadian – iman
• Telah mendapatkan pendidikan cukup di Seminari Tinggi
Tugas seorang imam
• Tugasnya memimpin/menggembalakan Jemaat di Paroki
• melayani Sakramen (7 Sakramen)
• Doa Pribadi
• Ada yang jadi dosen/ketua yayasan
• Bidang social
ada 3 macam Sakramen Tahbisan:
1. Tahbisan Uskup
2. Tahbisan Imam
3. Tahbisan Diakon
2015-10-30leilei
ReplyDeleteCanada Goose Outlet Online
Michael Kors Handbags Clearance
ugg boots
cheap ugg boots
michael kors handbags
ugg boots clearance
football jerseys cheap
michael kors outlet
montblanc pen
Coach Factory Outlet
michael kors outlet online
michael kors handbags
uggs sale
coach factory outlet
toms outlet
Louis Vuitton Outlet Official Site
timberland outlet
Jordan Retro 13 Hot Sale
uggs outlet
Louis Vuitton Handbags New
Louis Vuitton Outlet Louis Vuitton Handbags
Christian Louboutin Outlet Authentic sneakers
michael kors outlet
michael kors outlet
Coach Factory Outlet Coach Outlet Online
Michael Kors Outlet Sale Online
louis vuitton
oakley sunglasses cheap
canada goose jackets
ugg boots wholesale
michael kors bags
authentic louis vuitton handbags
north face outlet
canada goose jackets
Louis Vuitton UK
yeezy boost 350 v2
ReplyDeletecalvin klein outlet
air max 270
bape hoodie
hermes online
balenciaga trainers
nike lebron 16
jordan retro
yeezy
ferragamo belts
golden goose superstar
ReplyDeletepaul george shoes
hermes belt
nike air force 1
hermes
kate spade outlet
nike kyrie 6
lebron 17
nike air max 2017
hermes